Secara sekilas
Undang-Undang Pendidikan Nasional No. 2 Tahun 1989 memuat penjelasan sebagai
berikut:
- ketentuan umum isi Undang-Undang
- dasar fungsi, dan tujuan pendidikan nasional
- hak warga negara untuk memperoleh pendidikan
- satuan pendidikan
- jalur pendidikan
- jenis pendidikan
- jenjang pendidikan
- peserta didik
- tenaga kependidikan
- sumberdaya pendidikan
- kurikulum
- hari belajar dan hari libur
- bahasa pengantar
- penilaian
- peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan nasional
- badan pertimbangan pendidikan nasional
- pengelolaan sistem pendidikan nasional
- pengawasan
Kesempatan
untuk memperoleh pendidikan diberikan kepada setiap warga negara tanpa
membedakan jenis kelamin, agama, suku, ras, latar belakang sosial dan tingkat
kemampuan ekonomi, kecuali untuk satuan pendidikan yang bersifat khusus.
Misalnya, satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan atas dasar
kewanitaan dibenarkan untuk menerima hanya wanita saja. Contoh lain, satuan
pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan agama tertentu dibenarkan untuk
menerima hanya penganut agama yang bersangkutan.
Pendidikan
yang tersedia dan dapat diperoleh setiap orang dapat berada dalam jalur
pendidikan sekolah maupun jalur pendidikan luar sekolah. Jenjang pendidikan
yang termasuk ke dalam jalur pendidikan sekolah adalah pendidikan dasar,
pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Di samping itu dapat pula
diselenggarakan pendidikan prasekolah.
Namun dalam
kenyataannya sebuah negara pascakolonial yang totaliter seperti Indonesia
pendidikan adalah urusan yang terlalu penting untuk semata diserahkan pada kehendak
masyarakat itu sendiri. Elite nasional yang merasa diri sebagai wakil suci dari
kepentingan nasional itu yakin bahwa mereka sudah menemukan ''rahasia''
keterbelakangan bangsa. Rakyat itu bodoh dan mereka harus dididik dengan cara
yang modern. (Satu hal penting yang mereka lupa, semua pengetahuan modern itu
tidak ada yang tersimpan dalam bahasa dan wadah setempat. Semua pengetahuan
adalah barang impor).
Untuk keperluan
pendidikan itulah sebuah rancangan perbaikan mutu hidup dijalankan, mulai dari
kontrol jumlah penduduk, penyebaran mereka, sampai dengan tingkat kesejahteraan
dan pada akhirnya mutu akhlak dan pribadi semua warga.
Untuk itu dua hal
pokok dijalankan; di satu pihak aneka macam pendidikan keterampilan
diperkenalkan di semua jalur, bidang dan tingkat pendidikan, mulai dari dasar
sampai tinggi, tetapi di lain pihak sebuah kontrol yang nyaris sempurna
dijalankan untuk menutup kesadaran warga dari nilai mereka sebagai warga dan
bukan kawula. Artinya ''otak'' diberi kebebasan penuh untuk mencari ilmu di
bidang yang bisa dicari penerapan dan manfaat ekonominya (dari teknik sampai
manajemen), tetapi hal-hal yang berkaitan dengan nilai, makna dan kesadaran
sepenuhnya ditepiskan dan hanya ada satu nilai, tunduk, patuh dan tertib.
Hasil akhir semacam
inilah tak banyak beda dengan hasil akhir sistem pendidikan kolonial yang
secara politis telah diakhiri itu. Artinya pascakolonial bukan waktu sesudah
kolonialisme. Waktu itu, sampai hari ini, masih tetap zaman kolonial.
Ketika apa yang
disebut dengan pendidikan itu tetap diletakkan dalam sebuah hubungan yang tak
seimbang antara semua pihak yang terlihat, maka dengan sendirinya struktur
dalam dari lenyapnya diri itu tetap dipertahankan. Terdidik artinya tercerabut
dari akar sendiri! Dan ini semua diperdebat karena semua ''pengetahuan'' hanya
mungkin dipaket dalam bahasa non-ibu, bahasa Barat. Otak hati dan badan yang
setiap hari hidup di tanah sendiri tetapi dibanjiri terus menerus dengan
hal-hal asing dalam bahasa asing, dengan sendirinya sosok yang muncul adalah
sejenis makhluk frankenstein, setengah manusia, setengah setan dan binatang.
Ketika semua orang
terdidik menjadi mirip dan hanya dibedakan oleh jurusan atau keahlian
masing-masing, maka yang kemudian terjadi bukanlah sebuah pengetahuan yang mengakar
dan terus bertumbuh di tanah sendiri. Seperti infant industry yang usianya bisa mencapai tiga puluh tahun, maka
anak didik itu bisa mencapai usia amat lanjut juga. Selamanya tetap anak-anak,
tidak mengenal dunia yang lebih, luas dari kepentingannya sendiri.
Dengan kata lain,
pendidikan modern tidak melahirkan individualisme, tetapi menghasilkan makhluk
yang selalu sadar akan kepentingan dan kebutuhannya, tetapi cakrawala minat
selalu tertumbuk pada ikatan paling dekat saja: suku, agama, ras atau keluarga.
Gerak maju dan masyarakat bangsa
Demikianlah
terjadi, karena masuk dalam kancah dunia ''modern'' dianggap telah rampung
dengan membangun pabrik mendirikan universitas, pergi ke luar negeri atau fasih
berbahasa asing, dan terampil untuk menjalankan organisasi atau mesin, maka
pada giliran terakhir semua akar dan kekayaan sendiri meranggas dan lumpuh
secara amat cepat. Beberapa usaha dari kalangan agama untuk mencari jalan
inkulturasi, artinya bukan gerak dari luar untuk memperbaiki mutu lokal, tetapi
mencari akar lokal yang lalu bersimbiose dengan unsur luar, sehingga terjadi
sosok baru yang lebih kukuh, hal semacam itu tidak pernah terjadi. Modernisasi
yang dianggap sebagai jalan kemenangan nalar dan perhitungan pada akhirnya
hanya sampai pada usaha-usaha simbolik dan tak berakar. Arus pengetahuan itu
berhenti, dan yang terjadi hanya arus uang dan barang.
Hal ini secara
lebih nyata dapat disimak pada gejala pendidikan tinggi kita seperti berikut :
Pada tingkat yang
paling umum, semua universitas harus tunduk pada aturan negeri, dengan
pengandaian bahwa perguruan negeri adalah yang paling baik (ada center of excellence, ada akreditasi
dst.) Kemudian bahan belajar mengajar juga ditentukan secara terpusat oleh
pemerintah/kopertis. Artinya kurikulum/silabus ditentukan secara seragam. Dan
pada akhirnya, pada tingkat pengajaran baru para pengajar harus menjabarkan
unsur dari silabus yang harus diajarkan sesudah dengan batas, kedalaman dan
waktu yang tersedia. Dan pada giliran mahasiswa, dengan sistem belanja bebas,
mereka berlaga dan adu cepat merampungkan sekolah, asal sesuai dengan kriteria
yang telah ditentukan, credit point sejumlah
160, misalnya.
Apa yang terjadi
dengan sistem yang ''modern'' semacam itu''
Pertama,
naluri bersaing tumbuh dengan subur, artinya mereka yang telah rapih
ditertibkan (dari keluarga, SD, SMP, SMU sampai PT) akan melaju lebih cepat
dari mereka yang kurang ''tertib''.
Kedua, karena
kemajuan bisa diukur secara numerik, maka pengelola pendidikan tinggi bisa
mudah menjual jasa pendidikan itu. Komersialisasi adalah wajar dan sebuah
keharusan.
Ketiga, karena
perguruan tinggi ditugaskan untuk menjual ijazah, maka soal harga adalah
penting, dan bagaimana mutu produk tidaklah terlalu penting. Harga internal
adalah cepat lulus, dan mutu produk yang artinya adalah orang yang tampil dan
berwawasan tidak diperlukan. Pendidikan menjadi sebuah masyarakat formal!
Dalam sebuah
masyarakat dimana pendidikan semakin tersungkur dalam formalitas semacam rite de passage, maka yang terjadi
sepenuhnya adalah semakin keringnya pengetahuan lokal dan semakin kerdilnya
pengetahuan yang berasal dari luar. Ketiga harga sebuah bangsa atau negara
sekarang ini selalu ditakar dari kemampuan pengetahuan/teknologi dan
ketangguhan masyarakat untuk bertarung di tengah dunia yang semakin terbuka,
maka hasil bersih dari model pendidikan tinggi semacam itu justru semakin
memperlemah kemampuan dan harga yang diperlukan. Terus menerus terjadi
devaluasi pendidikan nasional karena alih pengetahuan dan sistem kemasyarakatan
selalu bermusuhan dengan dirinya sendiri.
Dalam hubungan
asing/lokal, guru/murid, penguasa/rakyat yang sepenuhnya tak beda dengan pola
patologis sado/macho, dengan sendirinya yang terjadi dalam seluruh pengalihan
ilmu, keterampilan dan kedewasaan tak lain adalah bentuk-bentuk yang dari luar
tampak rapih dan tertib, tetapi dalam struktur dasar selalu rapuh dan tidak
yakin akan kakinya sendiri untuk mampu melangkah.
Pendidikan menemui jalan buntu
Dengan tiga hal
yang telah disampaikan itu (watak pendidikan kolonial, gerak lebih dalam dan
pola persaingan global), maka pada akhirnya muncul satu hal yang tak bisa
disangkal, yakni bahwa apa saja yang disebut pendidikan atau alih pengetahuan
dalam masyarakat itu (formal/informal, negeri/swasta, profan/sekulan dst) semua
itu selalu terjebak dalam pola lama yang tak pernah kendor menekan masyarakat:
hubungan tak sepadan antara dua kekuatan dan selalu dua kekuatan itu, seperti
asing/lokal, eksakta/humaniora, pribumi/non pri, kawula/ningrat, buruh/majikan.
Dalam sebuah galaksi dikotomik dan konfliktual semacam itu selalu ada pihak
yang diuntungkan dan dirugikan.
Pendidikan yang
pada arah dasarnya adalah menjadikan semua manusia itu sama tetapi dengan tetap
berbeda tidak bisa terjadi, tidak lahir individu, tetapi hanya lahir kerakusan
dan ketegasan akan kepentingan sendiri, tidak muncul tenggang rasa dan kerja
sama, tetapi yang muncul adalah curiga dan intrik.
Pendidikan tidak
mampu meretas jalan dan membuka cakrawala baru, tetapi berperan untuk
melanggengkan struktur yang tak seimbang, tak adil dan menindas. Alih
pengetahuan terjadi lewat sarana perdagangan, sehingga tidak ada ''kawruh'',
tetapi hanya ada keterampilan dan jasa pendidikan yang harus dinilai secara
tepat, baik secara bobot maupun secara finansial!
Seperti bidang
lain dalam masyarakat, pendidikan di Indonesia sedang dikerubuti oleh aneka
bentuk dan letupan jalan buntu. Tidak ada alih pengetahuan dari barat, hanya
ada alih bentuk-bentuk dan lembaga pengetahuan dari negeri asing ke Indonesia.
Dan bentuk atau wujud jalan buntu yang paling kentara adalah semacam ini,
ketika secara nyata lembaga pendidikan formal itu berhasil merubah diri menjadi
penjual jasa pendidikan sejenis pabrik (yayasan swasta adalah bentuk selundupan
hukum untuk bisnis jasa, semacam perseroan terbatas untuk usaha bisnis,
misalnya) maka seluruh bangunan industrial yang menjual jasa dan barang di
tengah sistem ekonomi itu ambruk. Terjadi kekacauan dalam pasar tenaga kerja,
pengangguran naik dengan setiap tahun ditambah dengan produksi pendidikan
terakhir, tetapi di lain pihak para pendidik dan elite nasional tetap kukuh
dengan anggapan bahwa pendidikan itu harus bermatra iptek dan intak, lalu
dengan Ketetapan (Tap) X/MPR/98 ditambah lagi dengan ''budi pekerti''. Artinya
kenyataan itu bergerak dalam hukum kenyataan sesuai dengan gerak ekonomi dan
percaturan politik yang paling mendasar, sedangkan para elite nasional kita
tetap sibuk dengan khayal dan keyakinan tak tergoyahkan bahwa dengan proses
pendidikan sejumlah amat besar orang Indonesia akan bisa dirubah menjadi
manusia unggul dan utama. Formalisasi pendidikan menjadi sempurna dan proses
inkulturasi sepenuhnya berhenti. Tidak ada alih pengetahuan, tetapi hanya ada
proses pembengkakan mimpi dan semakin jauhnya tindak dari kenyataan. Tidak
pernah hadirnya sebuah manpower planning
dalam benak mereka yang menempati kedudukan politik dan ekonomi adalah salah
satu sebab dari kekacauan sekarang ini.
Dan pada
gilirannya formalisme yang berlaku dalam pendidikan kita semakin memperteguh
pola hubungan simbolik yang tak seimbang antara lokal/asing, swasta/negeri,
pendidik/anak didik dan seterusnya. Ketidaktepatan dari setiap bentuk
pragmatisme dalam dunia pendidikan amatlah jelas, yakni bahwa pendidikan tidak
pernah semata sebuah jalan keluar dari masalah atau obat mujarab untuk
persoalan ekonomi atau politik. Pendidikan adalah justru bentuk mampat dari
semua masalah yang bergerak dalam masyarakat, sebuah penundaan atau pengalihan
minat dari kekalahan pada akhirnya atau kekecewaan di tengah prosesnya.
0 komentar:
Posting Komentar