Senin, 08 September 2014

SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL


  Sistem pendidikan nasional yang diatur melalui Undang-Undang Pendidikan Nasional No. 2 tahun 1989 adalah satu keseluruhan yang terpadu dari semua satuan dan kegiatan pendidikan yang berkaitan satu dengan lainnya untuk mengusahakan tercapainya tujuan pendidikan nasional. Pelaksanaan sistem pendidikan nasional dilakukan secara semesta, menyeluruh, dan terpadu. Semesta artinya terbuka bagi seluruh rakyat dan berlaku di seluruh wilayah Indonesia; menyeluruh artinya mencakup semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan; terpadu artinya ada keterkaitan antara pendidikan nasional dengan seluruh usaha pembangunan nasional.
Secara sekilas Undang-Undang Pendidikan Nasional No. 2 Tahun 1989 memuat penjelasan sebagai berikut:
  • ketentuan umum isi Undang-Undang
  • dasar fungsi, dan tujuan pendidikan nasional
  • hak warga negara untuk memperoleh pendidikan
  • satuan pendidikan
  • jalur pendidikan
  • jenis pendidikan
  • jenjang pendidikan
  • peserta didik
  • tenaga kependidikan
  • sumberdaya pendidikan
  • kurikulum
  • hari belajar dan hari libur
  • bahasa pengantar
  • penilaian
  • peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan nasional
  • badan pertimbangan pendidikan nasional
  • pengelolaan sistem pendidikan nasional
  • pengawasan
      Kesempatan untuk memperoleh pendidikan diberikan kepada setiap warga negara tanpa membedakan jenis kelamin, agama, suku, ras, latar belakang sosial dan tingkat kemampuan ekonomi, kecuali untuk satuan pendidikan yang bersifat khusus. Misalnya, satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan atas dasar kewanitaan dibenarkan untuk menerima hanya wanita saja. Contoh lain, satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan agama tertentu dibenarkan untuk menerima hanya penganut agama yang bersangkutan.
Pendidikan yang tersedia dan dapat diperoleh setiap orang dapat berada dalam jalur pendidikan sekolah maupun jalur pendidikan luar sekolah. Jenjang pendidikan yang termasuk ke dalam jalur pendidikan sekolah adalah pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Di samping itu dapat pula diselenggarakan pendidikan prasekolah.
Namun dalam kenyataannya sebuah negara pascakolonial yang totaliter seperti Indonesia pendidikan adalah urusan yang terlalu penting untuk semata diserahkan pada kehendak masyarakat itu sendiri. Elite nasional yang merasa diri sebagai wakil suci dari kepentingan nasional itu yakin bahwa mereka sudah menemukan ''rahasia'' keterbelakangan bangsa. Rakyat itu bodoh dan mereka harus dididik dengan cara yang modern. (Satu hal penting yang mereka lupa, semua pengetahuan modern itu tidak ada yang tersimpan dalam bahasa dan wadah setempat. Semua pengetahuan adalah barang impor).
Untuk keperluan pendidikan itulah sebuah rancangan perbaikan mutu hidup dijalankan, mulai dari kontrol jumlah penduduk, penyebaran mereka, sampai dengan tingkat kesejahteraan dan pada akhirnya mutu akhlak dan pribadi semua warga.
Untuk itu dua hal pokok dijalankan; di satu pihak aneka macam pendidikan keterampilan diperkenalkan di semua jalur, bidang dan tingkat pendidikan, mulai dari dasar sampai tinggi, tetapi di lain pihak sebuah kontrol yang nyaris sempurna dijalankan untuk menutup kesadaran warga dari nilai mereka sebagai warga dan bukan kawula. Artinya ''otak'' diberi kebebasan penuh untuk mencari ilmu di bidang yang bisa dicari penerapan dan manfaat ekonominya (dari teknik sampai manajemen), tetapi hal-hal yang berkaitan dengan nilai, makna dan kesadaran sepenuhnya ditepiskan dan hanya ada satu nilai, tunduk, patuh dan tertib.
Hasil akhir semacam inilah tak banyak beda dengan hasil akhir sistem pendidikan kolonial yang secara politis telah diakhiri itu. Artinya pascakolonial bukan waktu sesudah kolonialisme. Waktu itu, sampai hari ini, masih tetap zaman kolonial.
Ketika apa yang disebut dengan pendidikan itu tetap diletakkan dalam sebuah hubungan yang tak seimbang antara semua pihak yang terlihat, maka dengan sendirinya struktur dalam dari lenyapnya diri itu tetap dipertahankan. Terdidik artinya tercerabut dari akar sendiri! Dan ini semua diperdebat karena semua ''pengetahuan'' hanya mungkin dipaket dalam bahasa non-ibu, bahasa Barat. Otak hati dan badan yang setiap hari hidup di tanah sendiri tetapi dibanjiri terus menerus dengan hal-hal asing dalam bahasa asing, dengan sendirinya sosok yang muncul adalah sejenis makhluk frankenstein, setengah manusia, setengah setan dan binatang.
Ketika semua orang terdidik menjadi mirip dan hanya dibedakan oleh jurusan atau keahlian masing-masing, maka yang kemudian terjadi bukanlah sebuah pengetahuan yang mengakar dan terus bertumbuh di tanah sendiri. Seperti infant industry yang usianya bisa mencapai tiga puluh tahun, maka anak didik itu bisa mencapai usia amat lanjut juga. Selamanya tetap anak-anak, tidak mengenal dunia yang lebih, luas dari kepentingannya sendiri.
Dengan kata lain, pendidikan modern tidak melahirkan individualisme, tetapi menghasilkan makhluk yang selalu sadar akan kepentingan dan kebutuhannya, tetapi cakrawala minat selalu tertumbuk pada ikatan paling dekat saja: suku, agama, ras atau keluarga.
Gerak maju dan masyarakat bangsa
Demikianlah terjadi, karena masuk dalam kancah dunia ''modern'' dianggap telah rampung dengan membangun pabrik mendirikan universitas, pergi ke luar negeri atau fasih berbahasa asing, dan terampil untuk menjalankan organisasi atau mesin, maka pada giliran terakhir semua akar dan kekayaan sendiri meranggas dan lumpuh secara amat cepat. Beberapa usaha dari kalangan agama untuk mencari jalan inkulturasi, artinya bukan gerak dari luar untuk memperbaiki mutu lokal, tetapi mencari akar lokal yang lalu bersimbiose dengan unsur luar, sehingga terjadi sosok baru yang lebih kukuh, hal semacam itu tidak pernah terjadi. Modernisasi yang dianggap sebagai jalan kemenangan nalar dan perhitungan pada akhirnya hanya sampai pada usaha-usaha simbolik dan tak berakar. Arus pengetahuan itu berhenti, dan yang terjadi hanya arus uang dan barang.
Hal ini secara lebih nyata dapat disimak pada gejala pendidikan tinggi kita seperti berikut :
Pada tingkat yang paling umum, semua universitas harus tunduk pada aturan negeri, dengan pengandaian bahwa perguruan negeri adalah yang paling baik (ada center of excellence, ada akreditasi dst.) Kemudian bahan belajar mengajar juga ditentukan secara terpusat oleh pemerintah/kopertis. Artinya kurikulum/silabus ditentukan secara seragam. Dan pada akhirnya, pada tingkat pengajaran baru para pengajar harus menjabarkan unsur dari silabus yang harus diajarkan sesudah dengan batas, kedalaman dan waktu yang tersedia. Dan pada giliran mahasiswa, dengan sistem belanja bebas, mereka berlaga dan adu cepat merampungkan sekolah, asal sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan, credit point sejumlah 160, misalnya.
Apa yang terjadi dengan sistem yang ''modern'' semacam itu''
Pertama, naluri bersaing tumbuh dengan subur, artinya mereka yang telah rapih ditertibkan (dari keluarga, SD, SMP, SMU sampai PT) akan melaju lebih cepat dari mereka yang kurang ''tertib''.
Kedua, karena kemajuan bisa diukur secara numerik, maka pengelola pendidikan tinggi bisa mudah menjual jasa pendidikan itu. Komersialisasi adalah wajar dan sebuah keharusan.
Ketiga, karena perguruan tinggi ditugaskan untuk menjual ijazah, maka soal harga adalah penting, dan bagaimana mutu produk tidaklah terlalu penting. Harga internal adalah cepat lulus, dan mutu produk yang artinya adalah orang yang tampil dan berwawasan tidak diperlukan. Pendidikan menjadi sebuah masyarakat formal!
Dalam sebuah masyarakat dimana pendidikan semakin tersungkur dalam formalitas semacam rite de passage, maka yang terjadi sepenuhnya adalah semakin keringnya pengetahuan lokal dan semakin kerdilnya pengetahuan yang berasal dari luar. Ketiga harga sebuah bangsa atau negara sekarang ini selalu ditakar dari kemampuan pengetahuan/teknologi dan ketangguhan masyarakat untuk bertarung di tengah dunia yang semakin terbuka, maka hasil bersih dari model pendidikan tinggi semacam itu justru semakin memperlemah kemampuan dan harga yang diperlukan. Terus menerus terjadi devaluasi pendidikan nasional karena alih pengetahuan dan sistem kemasyarakatan selalu bermusuhan dengan dirinya sendiri.
Dalam hubungan asing/lokal, guru/murid, penguasa/rakyat yang sepenuhnya tak beda dengan pola patologis sado/macho, dengan sendirinya yang terjadi dalam seluruh pengalihan ilmu, keterampilan dan kedewasaan tak lain adalah bentuk-bentuk yang dari luar tampak rapih dan tertib, tetapi dalam struktur dasar selalu rapuh dan tidak yakin akan kakinya sendiri untuk mampu melangkah.
Pendidikan menemui jalan buntu
Dengan tiga hal yang telah disampaikan itu (watak pendidikan kolonial, gerak lebih dalam dan pola persaingan global), maka pada akhirnya muncul satu hal yang tak bisa disangkal, yakni bahwa apa saja yang disebut pendidikan atau alih pengetahuan dalam masyarakat itu (formal/informal, negeri/swasta, profan/sekulan dst) semua itu selalu terjebak dalam pola lama yang tak pernah kendor menekan masyarakat: hubungan tak sepadan antara dua kekuatan dan selalu dua kekuatan itu, seperti asing/lokal, eksakta/humaniora, pribumi/non pri, kawula/ningrat, buruh/majikan. Dalam sebuah galaksi dikotomik dan konfliktual semacam itu selalu ada pihak yang diuntungkan dan dirugikan.
Pendidikan yang pada arah dasarnya adalah menjadikan semua manusia itu sama tetapi dengan tetap berbeda tidak bisa terjadi, tidak lahir individu, tetapi hanya lahir kerakusan dan ketegasan akan kepentingan sendiri, tidak muncul tenggang rasa dan kerja sama, tetapi yang muncul adalah curiga dan intrik.
Pendidikan tidak mampu meretas jalan dan membuka cakrawala baru, tetapi berperan untuk melanggengkan struktur yang tak seimbang, tak adil dan menindas. Alih pengetahuan terjadi lewat sarana perdagangan, sehingga tidak ada ''kawruh'', tetapi hanya ada keterampilan dan jasa pendidikan yang harus dinilai secara tepat, baik secara bobot maupun secara finansial!
Seperti bidang lain dalam masyarakat, pendidikan di Indonesia sedang dikerubuti oleh aneka bentuk dan letupan jalan buntu. Tidak ada alih pengetahuan dari barat, hanya ada alih bentuk-bentuk dan lembaga pengetahuan dari negeri asing ke Indonesia. Dan bentuk atau wujud jalan buntu yang paling kentara adalah semacam ini, ketika secara nyata lembaga pendidikan formal itu berhasil merubah diri menjadi penjual jasa pendidikan sejenis pabrik (yayasan swasta adalah bentuk selundupan hukum untuk bisnis jasa, semacam perseroan terbatas untuk usaha bisnis, misalnya) maka seluruh bangunan industrial yang menjual jasa dan barang di tengah sistem ekonomi itu ambruk. Terjadi kekacauan dalam pasar tenaga kerja, pengangguran naik dengan setiap tahun ditambah dengan produksi pendidikan terakhir, tetapi di lain pihak para pendidik dan elite nasional tetap kukuh dengan anggapan bahwa pendidikan itu harus bermatra iptek dan intak, lalu dengan Ketetapan (Tap) X/MPR/98 ditambah lagi dengan ''budi pekerti''. Artinya kenyataan itu bergerak dalam hukum kenyataan sesuai dengan gerak ekonomi dan percaturan politik yang paling mendasar, sedangkan para elite nasional kita tetap sibuk dengan khayal dan keyakinan tak tergoyahkan bahwa dengan proses pendidikan sejumlah amat besar orang Indonesia akan bisa dirubah menjadi manusia unggul dan utama. Formalisasi pendidikan menjadi sempurna dan proses inkulturasi sepenuhnya berhenti. Tidak ada alih pengetahuan, tetapi hanya ada proses pembengkakan mimpi dan semakin jauhnya tindak dari kenyataan. Tidak pernah hadirnya sebuah manpower planning dalam benak mereka yang menempati kedudukan politik dan ekonomi adalah salah satu sebab dari kekacauan sekarang ini.
Dan pada gilirannya formalisme yang berlaku dalam pendidikan kita semakin memperteguh pola hubungan simbolik yang tak seimbang antara lokal/asing, swasta/negeri, pendidik/anak didik dan seterusnya. Ketidaktepatan dari setiap bentuk pragmatisme dalam dunia pendidikan amatlah jelas, yakni bahwa pendidikan tidak pernah semata sebuah jalan keluar dari masalah atau obat mujarab untuk persoalan ekonomi atau politik. Pendidikan adalah justru bentuk mampat dari semua masalah yang bergerak dalam masyarakat, sebuah penundaan atau pengalihan minat dari kekalahan pada akhirnya atau kekecewaan di tengah prosesnya.

0 komentar:

Posting Komentar