Kesulitan
keuangan dari Belanda akibat Perang Dipenogoro pada tahun 1825 sampai 1830
(Mestoko dkk,1985:11, Mubyarto,1987:26) serta perang Belanda dan Belgia
(1830-1839) mengeluarkan biaya yang mahal dan menelan banyak korban. Belanda
membuat siasat agar pengeluaran untuk peperangan dapat ditutupi dari negara
jajahan. Kerja paksa dianggap cara yang paling ampuh untuk memperoleh
keuntungan yang maksimal yang dikenal dengan cultuurstelsel atau tanam
paksa (Nasution, 1987:11). Kerja paksa dapat dijalankan sebagai cara yang
praktis untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Rakyat miskin selalu menjadi
bagian yang dirugikan karena digunakan sebagai tenaga kerja murah. Rakyat
miskin yang sebagian bekerja sebagai petani juga dimanfaatkan untuk menambah
kas negara penguasa.
Kehidupan
petani yang selalu ditekan bukan masalah yang baru. Petani menduduki posisi
sosial yang selalu dimanfaatkan, lahan pertanian merupakan tempat untuk
menggantungkan pendapatan dan hidup petani, terutama petani gurem. Petani
menjadi sapi perahan yang harus membayar pungutan resmi untuk membantu jalannya
pemerintahan dan penyuplai kebutuhan pejabat daerah (Mubyarto, 1987:24).
Praktek tanam paksa sekitar tahun 1830-1870 (di Yogyakarta, Solo, dan Priangan
sampai 1918) merupakan kesengsaraan yang tiada taranya dan memiliki kesan yang
paling hitam bagi petani dari masa penjajahan Belanda.
Untuk
melancarkan misi pendidikan demi pemenuhan tenaga kerja murah, pemerintah
mengusahakan agar bahasa Belanda bisa diujarkan oleh masyarakat untuk
mempermudah komunikasi antara pribumi dan Belanda. Lalu, bahasa Belanda menjadi
syarat Klein Ambtenaarsexamen atau ujian pegawai rendah pemerintah pada
tahun 1864. (Nasution, 1987:7). Syarat tersebut harus dipenuhi para calon
pegawai yang akan digaji murah. Pegawai sedapat mungkin dipilih dari anak-anak
kaum ningrat yang telah mempunyai kekuasaan tradisional dan berpendidikan untuk
menjamin keberhasilan perusahaan (Nasution, 1987:12). Jadi, anak dari kaum
ningrat dianggap dapat membantu menjamin hasil tanam paksa lebih efektif,
karena masyarakat biasa mengukuti perintah para ningrat. Suatu keadaan yang
sangat ironis, kehidupan terdiri dari lapisan-lapisan sosial yaitu golongan
yang dipertuan (orang Belanda) dan golongan pribumi sendiri terdapat golongan
bangsawan dan orang kebanyakan.
Pemerintah
Belanda lambat laun seolah-olah bertanggung jawab atas pendidikan anak Indonesia
melalui politik etis. Politik etis dijalankan berdasarkan faktor ekonomi di
dalam maupun di luar Indonesia, seperti kebangkitan Asia, timbulnya Jepang
sebagai Negara modern yang mampu menaklukkan Rusia, dan perang dunia pertama
(Nasution, 1987:17). Politik etis terutama sebagai alat perusahaan raksasa yang
bermotif ekonomis agar upah kerja serendah mungkin untuk mencapai keuntungan
yang maksimal. Irigasi, transmigrasi, dan pendidikan yang dicanagkan sebagai
kedok untuk siasat meraup keuntungan. Irigasi dibuat agar panen padi tidak
terancam gagal dan memperoleh hasil yang lebih memuaskan. Transmigrasi
berfungsi untuk penyebaran tenaga kerja, salah satunya untuk pekerja
perkebunan. Politik etis menjadi program yang merugikan rakyat.
Pendidikan
dasar berkembang sampai tahun 1930 dan terhambat karena krisis dunia, tidak
terkecuali menerpa Hindia Belanda yang disebut mangalami malaise (Mestoko dkk,
1985 :123). Masa krisis ekonomi merintangi perkembangan lembaga pendidikan.
Lalu, lembaga pendidikan dibuat dengan biaya yang lebih murah. Kebijakan yang
dibuat termasuk penyediaan tenaga pengajar yang terdiri dari tenaga guru untuk
sekolah dasar yang tidak mempunyai latar belakang pendidikan guru (Mestoko,
1985:158), bahkan lulusan sekolah kelas dua dianggap layak menjadi guru.
Masalah lain yang paling mendasar adalah penduduk sulit mendapatkan uang
sehingga pendidikan bagi orang kurang mampu merupakan beban yang berat. Jadi,
pendidikan semakin sulit dijangkau oleh orang kebanyakan. Pendidikan dibuat
untuk alat penguasa, orang kebanyakan menjadi target yang empuk diberi
pengetahuan untuk dijadikan tenaga kerja yang murah.
Pendidikan
dibuat oleh Belanda memiliki ciri-ciri tertentu. Pertama, gradualisme yang luar
biasa untuk penyediaan pendidikan bagi anak-anak Indonesia. Belanda membiarkan
penduduk Indonesia dalam keadaan yang hampir sama sewaktu mereka menginjakkan
kaki, pendidikan tidak begitu diperhatikan. Kedua, dualisme diartikan berlaku
dua sistem pemerintahan, pengadilan dari hukum tersendiri bagi golongan
penduduk. Pendidikan dibuat terpisah, pendidikan anak Indonesia berada pada
tingkat bawah. Ketiga, kontrol yang sangat kuat. Pemerintah Belanda berada
dibawah kontrol Gubernur Jenderal yang menjalankan pemerintahan atas nama raja
Belanda. Pendidikan dikontrol secara sentral, guru dan orang tua tidak
mempunyai pengeruh langsung politik pendidikan. Keempat, Pendidikan beguna
untuk merekrut pegawai. Pendidikan bertujuan untuk mendidik anak-anak menjadi
pegawai perkebunan sebagai tenaga kerja yang murah. Kelima, prinsip konkordasi
yang menjaga agar sekolah di Hindia Belanda mempunyai kurikulum dan standar
yang sama dengan sekolah di negeri Belanda, anak Indonesia tidak berhak sekolah
di pendidikan Belanda. Keenam, tidak adanya organisasi yang sistematis.
Pendidikan dengan ciri-cri tersebut diatas hanya merugikan anak-anak kurang
mampu. Pemerintah Belanda lebih mementingkan keuntungan ekonomi daripada
perkembangan pengetahuan anak-anak Indonesia.
Pemerintah
Belanda juga membuat sekolah desa. Sekolah desa sebagai siasat untuk
mengeluarkan biaya yang murah. Sekolah desa diciptakan pada tahun 1907. Tipe
sekolah desa yang dianggap paling cocok oleh Gubernur Jendral Van Heutz sebagai
sekolah murah dan tidak mengasingkan dari kehidupan agraris (Nasution,
1987:78). Kalau lembaga pendidikan disamakan dengan sekolah kelas dua,
pemerintah takut penduduk tidak bekerja lagi di sawah. Penduduk diupayakan
tetap menjadi tenaga kerja demi pengamankan hasil panen.
Sekolah
desa dibuat dengan biaya serendah mungkin. Pesantren diubah menjadi madrasah
yang memiliki kurikulum bersifat umum. Pesatren dibumbui dengan pengetahuan
umum. Cara tersebut dianggap efektif, sehingga pemerintah tidak usah membangun
sekolah dan mengeluarkan biaya (Nasution, 1987:80). Guru sekolah diambil dari
lulusan sekolah kelas dua, dianggap sanggup menjadi guru sekolah desa. Guru
yang lebih baik akan digaji lebih mahal dan tidak bersedia untuk mengajar di
lingkungan desa.
Masa
penjajahan Belanda berkaitan dengan pendidikan merupakan catatan sejarah yang
kelam. Penjajah membuat pendidikan sebagai alat untuk meraup keuntungan melalui
tenaga kerja murah. Sekolah juga dibuat dengan biaya yang murah, agar tidak
membebani kas pemerintah. Politik etis menjadi tidak etis dalam pelaksanaannya,
kepentingan biaya perang yang sangat mendesak dan berbagai masalah lain menjadi
kenyataan yang tercatat dalam sejarah pendidikan masa Belanda.
Belanda
digantikan oleh kekuasaan Jepang. Jepang membawa ide kebangkitan Asia yang tidak kalah liciknya dari Belanda. Pendidikan
semakin menyedihkan dan dibuat untuk menyediakan tenaga cuma-cuma (romusha)
dan kebutuhan prajurit demi kepentingan perang Jepang (Mestoko, 1985 dkk:138).
Sistem penggolongan dihapuskan oleh Jepang. Rakyat menjadi alat kekuasaan
Jepang untuk kepentingan perang. Pendidikan pada masa kekuasaan Jepang memiliki
landasan idiil hakko Iciu yang mengajak bangsa Indonesia berkerjasama
untuk mencapai kemakmuran bersama Asia raya. Pelajar harus mengikuti latihan
fisik, latihan kemiliteran, dan indoktrinasi yang ketat.
Kebangkitan
Asia menjadi slogan omong kosong pada kenyataannya. Mubyarto (1987:36)
menjelaskan pertanian Indonesia diusahakan dapat mendukung usaha peperangan.
Bibit baru dari Taiwan memang berumur lebih pendek dengan hasil per hektar
lebih tinggi dipaksakan untuk ditanam dengan sistem larikan (dalam garis lurus)
dan dengan menggunakan pupuk hijau dan kompos. Petani menjadi membenci sistem
baru tersebut. jaman Jepang sebagai jaman penyiksaan yang kejam. Jadi, petani
dibuat sebagai sumber pendapatan yang terus dipaksa untuk manambah hasil panen.
Penduduk sebagai alat komoditas yang terus diperas.
Sejarah
Belanda sampai Jepang dipahami sebagai alur penjelasan kalau pendidikan
digunakan sebagai alat komoditas oleh penguasa. Pendidikan dibuat dan diajarkan
untuk melatih orang-orang menjadi tenaga kerja yang murah. Runtutan penjajahan
Belanda dan Jepang menjadikan pendidikan sebagai senjata ampuh untuk
menempatkan penduduk sebagai pendukung biaya untuk perang melalui berbagai
sumber pendapatan pihak penjajah. Pendidikan pula yang akan dikembangkan untuk
membangun negara Indonesia setelah merdeka.
Setelah
kemerdekaan, perubahan bersifat sangat mendasar yaitu menyangkut penyesuaian
bidang pendidikan. Badan pekerja KNIP mengusulkan kepada kementrian pendidikan,
pengajaran, dan kebudayaan supaya cepat untuk menyediakan dan mengusahakan
pembaharuan pendidikan dan pengajaran sesuai dengan rencana pokok usaha
pendidikan (Mestoko, 1985:145). Lalu, pemerintah mengadakan program
pemberantasan buta huruf. Program buta huruf tidak mudah dilaksanakan dengan
berbagai keterbatasan sumber daya, kendala gedung sekolah dan guru. Kementrian
PP dan K juga mengadakan usaha menambah guru melalui kursus selama dua tahun.
Kursus bahasa jawa, bahasa Inggris, ilmu bumi, dan ilmu pasti(Mestoko dkk,
1985:161). Program tersebut menunjukkan jumlah orang yang buta huruf seluruh
Indonesia sekitar 32,21 juta (kurang lebih 40%), buta huruf pada tahun 1971.
Buta huruf yang dimaksud adalah buta huruf latin (Mestoko dkk, 1985:327). Jadi,
kegiatan pemberantasan buta huruf di pedesaan yang diprogramkan oleh pemerintah
untuk menanggulangi angka buta aksara di Indonesia dan buta pengetahuan dasar,
tetapi pendidikan kurang lebih tidak berdampak pada rumah tangga kurang mampu.
Kemerdekaan
Indonesia tidak membuat nasib orang tidak mampu terutama dari sektor pertanian
menjadi lebih baik. Pemaksaan atau perintah halus gampang muncul kembali,
contoh yang paling terkenal dengan akibat yang hampir serupa seperti cara-cara
dan praktek pada jaman Jepang, bimas gotong royong yang diadakan pada tahun
1968-1969 disebut bimas gotong royong karena merupakan usaha gotong royong
antara pemerintah dan swasta (asing dan nasional) untuk meyelenggarakan
intensifikasi pertanian dengan menggunakan metode Bimas (Fakih, 2002:277,
Mubyarto, 1987:37). Adapun tujuannya adalah untuk meningkatkan produksi beras
dalam waktu sesingkat mungkin dengan mengenalkan bibit padi unggul baru yaitu
Peta Baru (PB) 5 dan PB 8.37. Pada jaman penjajahan Belanda juga pernah
dilakukan cultuurstelsel, Jepang memaksakan penanaman bibit dari Taiwan.
Jadi, rakyat dipaksakan mengikuti kemauan dari pihak penguasa. Cara tersebut
kurang lebih sama dengan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia sebagai cara
untuk menghasilkan panen yang lebih maksimal. Muller (1979:73) menyatakan
berdasarkan penelitian yang dilakukan di Indonesia bahwa sebagaian besar
masyarakat yang masih hidup dalam kemiskinan, paling-paling hanya bisa memenuhi
kebutuhan hidup yang paling minim, dan hampir tidak bisa beradaptasi aktif
sedangkan golongan atas hidup dalam kemewahan.
Pendidikan
pada masa Belanda, Jepang dan setelah kemerdekaan sulit dicapai oleh
orang-orang dari rumah tangga kurang mampu. Mereka diajarkan dan diberi
pengetahuan untuk kepentingan pihak penguasa. Mereka dijadikan tenaga kerja
yang diandalkan untuk mencapai keuntungan yang maksimal. Setelah jaman
kemerdekaan, rakyat dari rumah tangga kurang mampu terus menjadi sumber
pemaksaan secara halus untuk pengembangan bibit padi unggul. Pendidikan sebagai
alat penguasa untuk mengembangkan program yang dianggap dapat mendukung
peningkatan pemasukan pemerintah.
0 komentar:
Posting Komentar