Kamis, 11 September 2014

ABC Unifikasi Kiri



I. Landasan Unifikasi
Apa itu Unifikasi?
Unifikasi adalah satu upaya untuk menyatukan kekuatan yang selama ini dipandang tersebar-sebar, bekerja dengan tidak efektif karena skala perlawanannya kecil, dll. Pendeknya, unifikasi adalah upaya untuk menempa sebuah persatuan dari mereka yang memiliki tujuan serupa.
Kalau Unifikasi Kiri?
Yang jelas, sasaran penyatuan ini adalah mereka yang ada di sayap kiri dalam spektrum politik. Dan yang dimaksud sayap kiri itu tentunya adalah mereka yang menentang kapitalisme, yang memandang bahwa kapitalisme itu keliru dan harus digantikan oleh sebuah sistem yang baru. Tentu saja ada yang mengartikan "kiri" hanya sebatas "anti status quo" atau anti rejim yang sedang berkuasa. Tapi itu tidak cukup untuk keperluan kita. Kita harus dengan tegas mengatakan bahwa "kiri" itu berarti anti-kapitalisme.
Apa kita perlu Unifikasi Kiri sekarang?
Perlu atau tidak perlu tentu ditentukan oleh perkembangan situasi objektif. Dan kalau kita mau jujur memandang situasi sosial yang berkembang belakangan ini (yakni pada semester pertama 2004), kita akan melihat bahwa ekonomi, politik dan budaya telah dikuasai oleh kaum kanan, mereka yang pro dengan kapitalisme.
Petunjuk terpenting tentang penguasaan dominan (hegemoni) sayap kanan di bidang politik adalah berjalan mulusnya pemilu borjuis, tidak adanya alternatif terhadap kepemimpinan borjuis, lemahnya posisi tawar organisasi-organisasi rakyat terhadap kebijakan pemerintah borjuis, menurun dengan drastisnya jumlah terbitan dan seruan anti-kapitalis secara nasional, semakin turunnya jumlah massa yang dapat dimobilisasi untuk aksi-aksi politik, dan penguatan kembali peran militer. Ini terjadi di tengah semakin bebasnya bacaan kiri beredar. Hal ini menunjukkan pada kita betapa dominasi (hegemoni) politik sayap kanan justru menguat pasca penggulingan Soeharto.
Di lain pihak, kini terdapat sebuah ruang politik demokrasi liberal. Tentu saja kita tidak dapat menyamakan "demokrasi liberal" di sini dengan yang ada, misalnya, di Eropa Barat atau Amerika Serikat. Demokrasi liberal di sini terus dibayangi oleh bahaya militerisme. Terutama karena borjuasi sipil Indonesia tidak terbentuk sebagai borjuasi yang tangguh, yang sanggup membangun sebuah struktur ekonomi-politik kapitalis yang tangguh. Di samping itu, ketergantungan borjuasi Indonesia pada modal asing menyebabkan mereka sangat tidak mampu membuat keputusan ekonomi-politik yang populis. Karena itu, mereka sangat membutuhkan militer sebagai jaminan satu-satunya bagi keberlangsungan kekuasaan mereka secara kelas.
Di bidang ekonomi, petunjuk dapat kita lihat dalam relatif mulusnya pasar bebas masuk ke Indonesia. Privatisasi berjalan terus. Pencabutan subsidi juga terus terjadi sekalipun sekarang dibuat bertahap dan kadang tanpa pemberitahuan pada publik. Perlawanan yang terjadi hanya sporadis, kadang muncul kadang tenggelam, dan tidak pernah tertuju secara serius pada sumber-sumber utama privatisasi, yakni oligarki kapital. Kami mengatakan bahwa "tidak serius" karena sebuah perlawanan yang serius pasti sebuah perlawanan yang terstruktur dan terencana, jadi pasti melibatkan satu upaya untuk memperbesar perlawanan itu secara terus-menerus.
Dalam soal budaya, kita melihat bagaimana bius mistik mulai didorong maju oleh agen-agen borjuasi, terutama media massa. Dengan berkedok "pasar", tayangan-tayangan mistik bergentayangan baik di layar kaca maupun dalam terbitan-terbitan cetak. Berbagai macam isu mistik disebarkan di tengah rakyat untuk membuat keresahan dan membuat rakyat lupa akan berbagai keputusan rejim borjuis yang menyengsarakan rakyat, seperti isu "kolor ijo". Tayangan-tayangan kuis dan kontes-kontes idola secara efektif juga digunakan untuk membelokkan isu-isu yang kritis dari benak rakyat karena rakyat terbujuk oleh harapan semu untuk bisa keluar dari krisis kemiskinan mereka melalui acara-acara semacam ini.
Di tengah kondisi objektif semacam ini, hampir tidak ada alternatif yang terbuka bagi partisipasi massa rakyat. Ada partai yang mengaku mewakili buruh, seperti PBSD. Tapi, kita tidak lihat upaya PBSD untuk menjalin sebuah perlawanan terorganisir dan berbasiskan massa terhadap peraturan perundang-undangan yang menindas buruh seperti UU PPHI dan UUTK. Mengapa harus berbasis massa? Sederhana: pernahkah di dunia ini, di mana saja, ada perjuangan buruh dalam isu-isu kritis yang berhasil tanpa menggunakan pemogokan? Ada lagi formasi-formasi lain seperti Perhimpunan Indonesia, yang lebih-lebih lagi karena kebanyakan anggotanya adalah intelektual yang tidak bersentuhan langsung dengan kondisi keseharian rakyat pekerja di negeri ini. Kita dapat bertanya: apakah solusi yang mereka hasilkan akan sesuai dengan kebutuhan objektif rakyat pekerja? Yang jelas, jalan yang mereka tempuh tidaklah sesuai dengan prinsip bahwa pembebasan rakyat pekerja hanya akan tercapai jika merupakan hasil jerih-payah rakyat pekerja itu sendiri.
Untuk keperluan inilah maka kita membutuhkan sebuah formasi baru. Formasi yang anti-kapitalisme, yang menyatukan kekuatan-kekuatan rakyat pekerja yang selama ini terpencar-pencar dan tidak efektif kerjanya.
Mengapa harus anti-kapitalisme?
Karena semua alternatif terhadap rejim yang berkuasa di Indonesia telah pernah diajukan, dan tidak pernah menyentuh permasalahan mendasar yang dihadapi oleh rakyat Indonesia. Orang sudah mengajukan pemberantasan korupsi, atau liberalisasi perdagangan, atau politik multipatrai, tapi tidak satupun yang mampu membereskan persoalan. Justru kesejahteraan rakyat semakin merosot, kehidupan semakin sulit. Sekalipun indikator-indikator ekonomi menunjukkan perbaikan, kondisi yang kita temui di tengah rakyat menunjukkan sebaliknya.
Kondisi ini membingungkan banyak gerakan rakyat, termasuk gerakan mahasiswa yang biasanya paling aktif dan kaya strategi-taktik. Terlihat bahwa gerakan massa mengalami penurunan tajam pasca penggulingan Soeharto tahun 1998. Slogan-slogan yang dipakai oleh gerakan massa, termasuk slogan reformasi, dicuri oleh para penguasa dan digunakan untuk kepentingan elit penguasa. Perpecahan terjadi di mana-mana.
Hanya sosialisme yang akan memberi satu alternatif yang akan membawa sebuah perubahan mendasar terhadap kelemahan-kelemahan dan krisis yang diakibatkan oleh kapitalisme. Krisis yang kini dihadapi oleh gerakan massa sebagian juga disebabkan oleh tidak disentuhnya alternatif yang paling tajam terhadap sistem ekonomi-politik yang kini berlaku di negeri ini.
Apakah semua orang yang anti-kapitalis dapat bergabung dalam Unifikasi Kiri ini?
Tidak semua. Pertemuan Nasional Unifikasi telah menghasilkan syarat dasar bagi mereka yang hendak bergabung. Syarat-syarat itu adalah (1) menjadikan sosialisme sebagai tujuan perjuangan; dan (2) menjadikan perjuangan massa sebagai metode pokok perjuangan. Sosialisme yang diacu pun bukan sembarang sosialisme, melainkan sosialisme yang ilmiah, yang melandaskan penyusunan teorinya dari kerja-kerja dan praktek kongkrit di lapangan.
Mengapa tidak semua orang boleh bergabung, ‘kan namanya "Unifikasi"?
Tentu saja kami menginginkan sebanyak mungkin orang bergabung. Tapi kami tentu tidak menginginkan penggabungan tanpa prinsip (kombinasionisme). Pertama dan terutama, kita harus menegaskan prinsip-prinsip perjuangan kita. Kita hanya akan bergabung dengan mereka yang sepakat dengan prinsip-prinsip tersebut. Jika tidak demikian, kita akan menjadi satu wadah yang tidak jelas landasannya. Ketidakjelasan ini niscaya akan menghasilkan perjuangan internal yang terlalu tajam. Enerji organisasi akan dihabiskan dengan bertarung di dalam tanpa dapat menghasilkan perbesaran perlawanan terhadap kapitalisme. Maka dari itu kita perlu menarik satu garis demarkasi, satu tapal batas. Jika orang sepakat untuk masuk ke dalam batasan yang telah kita gariskan, baru kita akan sama-sama bicara, berdebat dan berdiskusi. Jika tidak, silakan berada di luar lingkaran. Bahkan, kalaupun kita memakai pola berpikir organisasional yang umum sekalipun, pastilah tetap ada syarat jika seseorang ingin menjadi anggota. Sekalipun organisasi itu adalah sebuah koperasi, karang taruna atau perkumpulan pengendara Harley, semua pasti memiliki syarat-syarat keanggotaan. Karena kami ingin membangun sebuah unifikasi untuk perlawanan terhadap kapitalisme, tentunya syarat itu terletak pada persoalan prinsipil.
II. Landasan Perjuangan Unifikasi
Secara kongkrit, apa makna syarat-syarat unifikasi itu?
Sesungguhnya, syarat-syarat itu dibuat untuk dapat menghadirkan sebuah perjuangan kelas dalam panggung politik Indonesia. Dominasi politik sayap kanan berarti kelas pemilik modal praktis tidak mendapatkan hambatan dalam memaksakan kepentingan-kepentingan ekonomi-politik mereka agar tercermin dalam keputusan-keputusan dari lembaga-lembaga negara. Sebuah perjuangan kelas mengupayakan agar kelas-kelas yang kepentingannya berlawanan dengan kepentingan para pemilik modal masuk ke dalam pertarungan untuk langsung berebut menjadi kekuatan yang paling menentukan dalam pengambilan keputusan semacam itu. Adanya sebuah perjuangan kelas yang kokoh setidaknya akan merupakan satu penghalang bagi kelas pemilik modal untuk merajalela dalam memaksakan agar segala keputusan ekonomi-politik mencerminkan kepentingannya. Ini akan memaksa mereka untuk berhitung seribu kali sebelum mencoba cara-cara penghisapan baru. Namun, jika perjuangan kelas itu berhasil, justru rakyat pekerjalah yang akan dapat memaksa negara untuk mengambil keputusan-keputusan yang akan mencerminkan kepentingan rakyat pekerja itu sendiri. Singkatnya, tujuan kita adalah untuk mengangkat rakyat pekerja itu ke tampuk kekuasaan, melatih dan memperlengkapi mereka dengan kemampuan untuk melaksanakan sendiri penyelenggaraan negara jika kekuasaan itu ada di tangan mereka.
Banyak orang atau kelompok lain juga mengklaim melancarkan perjuangan kelas, apa yang membedakan kita dengan kelompok lain?
Hanya sebuah praktek yang akan membedakan kita dari lainnya. Namun, panduan praktek yang telah ditetapkan oleh Pertemuan Nasional Unifikasi sebagai rujukan bagi tiap gerak langkah unifikasi ini adalah:
1.    Sebuah politik kelas akan selalu mendekatkan kelas pekerja pada kekuasaan ekonomi, politik dan teori (Ideologi dan kesadaran).
2.    Perjuangan untuk kekuasaan ekonomi, politik dan ideologi itu dilakukan melalui organ partai proletariat, namun jika tiba saatnya, hanya sebuah Dewan Rakyat sajalah yang akan mampu menjadi alat kelas pekerja untuk memegang kekuasaan riil.
3.    Sebuah partai akan dapat disebut partai proletariat jika di dalamnya proletariat juga berdominasi, kelas-kelas dan sektor-sektor lain di dalam partai tersebut berada di bawah kepemimpinan ideologi proletariat dan mengabdikan perjuangan sektoralnya untuk kepentingan kemenangan proletariat.
4.    Salah satu syarat untuk terjadinya dominasi proletariat ini adalah pada "komposisi kelas" di dalam organisasi, sebuah partai proletar harus dapat membuat komposisi kelas di dalam dirinya didominasi oleh proletariat.
5.    Karena mayoritas proletariat dan kelas pekerja lain saat ini berada di bawah cengkeraman hegemoni ideologi borjuasi, maka perlu ada sebuah organisasi pelopor, yakni organisasi yang memannggul tugas untuk memajukan kesadaran kelas pekerja menuju sebuah kesadaran kelas pekrja baru akan bebas menentukan nasibnya sendiri jika mereka memegang kekuasan ekonomi dan politik.
6.    Untuk dapat menjadi pelopor, sebuah organisasi harus memiliki sentralisme di dalam dirinya, sentralisme yang akan memungkinkannya untuk bergerak sebagai satu tubuh dan satu jiwa. Namun, sentralisme ini tidak dapat didasarkan semata-mata pada wewenang atau mandat kepada Pusat, melainkan terutama oleh pemahaman bersama atas langkah-langkah yang harus diambil untuk menanggapi situasi tertentu.
7.    Keyakinan bahwa perjuangan kelas proletariat hanya akan menjadi kekuatan utuh jika disandarkan pada kekuatan Internasionalisme.
Coba jelaskan point pertama!
Sebuah perjuangan kelas bertujuan mengangkat kelas tertentu ke tampuk kekuasaan. Dalam arti, bahwa kekuasaan negara secara umum akan mencerminkan kepentingan dari kelas tertentu. Perjuangan kelas terus terjadi sekalipun kita tidak menyadarinya karena kelas pemilik modal sebenarnya terus berusaha mempertahankan keadaan di mana negara berpihak pada pemilik modal. Seperti yang kita tahu, semua lembaga kekuasaan kini dikuasai oleh para pemilik modal. Jika kita lihat susunan anggota parlemen, para menteri, bahkan juga para calon presiden, kita akan mendapati bahwa sebagian besar (bahkan hampir 100%) adalah pengusaha. Jika para pengusaha bertemu untuk membicarakan penyusunan UU, sudah hampir dapat dipastikan bahwa isi UU tersebut tidak akan berpihak pada rakyat pekerja. Jika pemerintah dikuasai oleh pengusaha, kita tidak dapat menyalahkan mereka jika keputusan yang diambilnya juga menguntungkan pengusaha. Sudah menjadi kewajiban mereka untuk membuat keputusan semacam itu.
Kelas pengusaha ini berusaha mempertahankan kekuasaannya dengan berbagai cara. Terutama sekali mereka berusaha membuat rakyat pekerja tetap bodoh. Mereka membuat sebuah sistem pendidikan yang mahal sehingga anak-anak rakyat pekerja tidak sanggup untuk menanggung biaya pendidikan. Oleh karena itu sebagian besar anak rakyat pekerja kemudian juga terpaksa menjadi pekerja juga. Mereka juga mengisi pendidikan itu dengan dasar berpikir yang tidak ilmiah dan menjejali anak dengan pola pikir kapitalis. Di tengah masyarakat, kita terus dicecar dengan pola hidup boros melalui iklan. Mereka terus memelihara budaya feudalistik di mana para pemimpin diperbolehkan memiliki kuasa mutlak atas kawulanya. Tapi, di atas segalanya, mereka mengandalkan perangkat hukum dan perundang-undangan untuk mencegah munculnya perlawanan terorganisir terhadap sistem kekuasaan mereka.
Dengan menandaskan perjuangan kelas, kita berusaha mengangkat perjuangan kelas agar rakyat pekerja menyadari bahwa merekalah yang seharusnya mengisi parlemen-parlemen, merekalah yang seharusnya mengisi jabatan-jabatan penting negara (bahkan juga presiden dan menteri-menteri), merekalah yang harus mengambil keputusan dalam hal-hal yang menyangkut hukum dan peraturan. Kemudian kita harus melatih rakyat pekerja itu supaya sanggup melakukan hal-hal tersebut. Dan, akhirnya, kita harus pula membajakan rakyat pekerja itu agar sanggup mengambil-alih kekuasaan tersebut dengan cara apapun yang paling dimungkinkan.
Hanya jika rakyat pekerja duduk di tampuk kekuasaan negara, segala keputusan yang diambil oleh negara akan memihak pada nasib rakyat pekerja.
Mengapa pengambilalihan kekuasaan itu harus melalui sovyet? Bukankah itu artinya harus lewat revolusi?
Kita dapat mengambil alih kekuasaan melalui jalan apa saja, termasuk jalan parlementer jika dimungkinkan. Sedapat mungkin kita harus mengusahakan jalan damai dalam pengambilalihan kekuasaan ini. Namun sejarah telah mengajar pada kita bahwa kelas pemilik modal tidaklah segan untuk menggunakan kekerasan dalam mempertahankan hak-hak istimewanya. Kita hanya bisa menggunakan jalan damai 100% jika kita bersedia menyerah pada tuntutan pemilik modal agar tidak mengganggu-gugat penghisapan yang mereka lakukan. Jika kita bersikeras untuk membebaskan seluruh rakyat pekerja dari penghisapan dan penindasan, jalan revolusioner mau tidak mau akan tetap kita tempuh. Persaoalannya cuma lebih cepat atau lebih lambat. Maka, jauh lebih baik kalau dari awal kita sudah menegaskan bahwa kita tidak akan meninggalkan jalan revolusioner, bahkan kalaupun kita menempuh metode parlementer dalam perjuangan kita. Ini untuk terus mengingatkan diri kita sendiri dan seluruh rakyat pekerja bahwa cepat atau lambat kelas pemilik modal pasti akan mencoba menghancurkan kekuatan terorganisir rakyat pekerja melalui kekerasan. Dan jika saat itu tiba, kita hanya memiliki dua pilihan: mengkhianati rakyat pekerja dan tunduk pada ideologi borjuasi; atau revolusi.
Mengapa proletariat yang dipilih sebagai ujung tombak perjuangan?
Jawaban sederhana atas pertanyaan itu adalah kenyataan bahwa proletariat adalah anak kandung kapitalisme. Kapitalisme tidak dapat hadir tanpa lebih dahulu merampas alat produksi dari para pekerja bebas (seperti tukang atau tani) dan memaksa mereka untuk menjual tenaga sebagai proletariat. Kelas-kelas lain dalam masyarakat juga berkonflik dengan kapitalisme, tapi itu karena kapitalisme sedang berupaya untuk memaksa kelas-kelas lain itu untuk menyerahkan alat produksi mereka dan menjadi proletariat. Kasus penggusuran tanah, misalnya, memaksa petani kehilangan alat produksi mereka yang paling utama, yakni tanah. Karena mereka kehilangan tanah, mereka akan terpaksa memburuh di koa-kota besar. Oleh karena mreka berkonflik juga dengan kapitalisme, kita harus merangkul kelas-kelas tertindas di luar proletariat ini untuk bersama-sama melakukan perlawanan. Tapi, untuk dpat menuntaskan perlawanan terhadap kapitalisme, kelas-kelas lain ini harus ditempa agar memahami bahwa masa depan semua orang adalah menjadi proletariat. Hal ini akan menjadi sangat penting justru pasca kemenangan perjuangan kelas, saat sosialisme boleh mulai diwujudkan. Sosialisme hanya dapat dibangun di atas sebuah masyarakat industrial modern, dan dalam sebuah masyarakat semacam itu, proletariatlah yang berdominasi dalam seluruh struktur masyarakatnya. Jika kelas-kelas lain ini tidak menyadari bahwa proletariatlah yang harus memimpin perjuangan, kelak pasti akan terjadi bentrokan antara mereka dengan proletariat, justru setelah perjuangan kelas melawan kapitalisme dimenangkan.
Mengapa keanggotaan partai harus didominasi oleh proletariat?
Prinsipnya sederhana: kami meyakini bahwa pembebasan proletariat hanya dimungkinkan melalui perjuangan proletariat itu sendiri. Tidak cukup jika ada orang di luar kelas proletariat yang "berniat baik" untuk memperjuangan nasib proletariat tapi tidak mau atau hanya sedikit melibatkan proletariat dalam perjuangan mereka. Sudah berkali-kali terbukti dalam sejarah bahwa para "pembebas" proletariat ini pada akhrnya justu mengkhianati perjuangan proletariat ketika saat-saat yang menentukan tiba, yakni saat di mana benturan kepentingan antara proletariat dan pemilik modal sudah semakin tak terhindarkan. Hanya mereka yang benar-benar berkepentingan sajalah yang akan sanggup bersetia dengan perjuangan sampai ke titik yang penghabisan. Hal ini sesungguhnya sudah merupakan kebijaksanaan orang-orang tua dari tempo dulu, sebuah ujar-ujar Konfusius, misalnya, menyatakan, "Dripada memberi ikan, lebih baik memberi pancing. Darpada memberi pancing, lebih baik mengajar orang membuat pancing." Kita akan mengajar dan melatih proletariat agar dapat mempertahankan kepentingannya sendri berhadapan dengan penindasan dan penghisapan borjuasi, sampai akhirnya dia dapat memenangkan pertarungan itu sepenuhnya. Tapi, bagaimna kita dapat mengajar dan melatih proletariat jika organ atau partai kita tidak diisi dengan sebanyak-banyaknya proletariat?
Kalau begitu, apa gunanya pelopor?
Perjuangan kelas proletar adalah sebuah perjuangan yang sulit. Salah satu sebabnya adalah karena kita harus melakukan perjuangan itu di bawah kapialisme, tapi justru untuk membawa diri kita keluar dari kapitalisme itu. Ketika kita berjuang di dalam kungkingan kapitalisme, kita tidak hanya akan berhadapan dengan represi telanjang, namun juga dengan badai propaganda ideologi kapialisme yang merasuki kesadaran kita dari segala penjuru. Film, hiburan, iklan, sampai lirik lagu bahkan juga berita, hampir 100% mengandung ide-ide yang membenarkan keberadaan kapitalisme sebagai sebuah sistem. Lagipula, secara umum manusia niscaya bersifat konservatif, enggan untuk berubah. Hampir semua orang memimpikan kemapanan (= status quo) dalam hidup mereka. Dalam keadaan semacam ini, mayoritas kelas pekerja sebenarnya menyadari dari pengalaman kongkrit bahwa kepentingan mereka berbeda dari kepentingan pemilik modal. Tapi, mereka tidak dapat menemukan penjelasan yang masuk akal karena semua propaganda dn pendidikan yang mereka terima membenarkan apa yang dilakukan oleh para pemilik modal. Oleh karena konflik batin itulah kemudian banyak anggota kelas proletar kemudian mengambil sikap tidak peduli. Bagaimana pun juga, ada individu-individu, betapapun kecil jumlahnya, yang mampu keluar dari perangkap ini dan sanggup melihat dengan jelas apa yang terjadi. Oleh karena itulah kemudian orang-orang ini harus memanggul beban untuk membuka mata anggota-anggota kelas proletar yang lain. Mereka harus berjuang, bukan hanya mengatasi penindasan kapitalisme, tapi juga ketidakacuhan dari kelas proletar. Inilah tugas yang mereka panggul sebagai pelopor.
Tapi, sudah banyak organisasi yang mengaku pelopor? Seperti apa sih sebenrnya organisasi pelopor itu?
Bagi kami, tandanya sederhana saja: sebuah organisasi pelopor akan terus mendekatkan rakyat pekerja pada kesadaran bahwa mereka sendirilah yang harus memegang kekuasaan,. Dan bukan hanya itu, sebuah organisasi pelopor akan terus mengambangkan jumlah rakyat pekerja yang menyadari ini, dan ini akan tercermin dalam komposisi keanggotaannya. Jika sebuah organisasi pelopor perjuangan kelas proletariat masih didominasi oleh borjuis kecil, misalnya, setelah lima tahun bekerja artinya mereka sudah gagal menjadi pelopor. Mereka tidak sanggup menarik lebih banyak anggota kelas proletariat ke dalam organisaisi mereka, itu artinya apa yang mereka serukan tidaklah dekat dengan hati dan pikiran proletariat. Namun sebaliknya, jika sebuah organisasi dapat meraup lebih banyak proleariat sekalipun, itu belum berarti mereka lantas menjadi pelopor. Kita harus lihat peningkatan kualitas anggota-anggotanya, apakah mereka sudah dapat bicara tentang alternatif terhadap kapitalisme atau belum. Jika kerangka perjuangan mereka masih berada di dalam batas-batas kapitalisme, itu artinya organisasi masih gagal menanamkan kesadaran kelas kepada kelas pekerja.
Lalu bagaimana dengan internasionalisme?
Internasionalisme gerakan kelas proletariat adalah satu-satunya cara yang tepat untuk melawan strategi pemilik modal yang juga meluaskan lapangan permainannya ke tingkat internasional melalui neoliberalisme dan globalisasi. Mereka menjalin kerjasama di tingkat internasional, baik dalam tingkatan perusahaan (melalui merger, sindikasi, atau perjanjian dagang) maupun dalam tingkat kenegaraan (melalui blok-blok perdagangan, IMF, WTO, Bank Dunia). Dengan semakin globalnya perekonomian, semakin nyata pula bahwa modal tidak mengenal kebangsaan. Dan ketika modal sudah menjadi global, semakin tidak mungkin perlawanan hanya dilakukan di satu negeri. Sebuah kesatuan tindakan dan keserasian gerak dari organisasi-organisasi kelas proletar sedunia adalah syarat mutlak bagi kemenangannya. Tentu saja kita menyadari bahwa perjuangan yang sesungguhnya tetap berlangsung di tingkat nasional, dan bahwa perjuangan ini tidak akan dapat dimenangkan secara serempak di semua negeri. Namun, tanpa internasionalisme yang kokoh, tidaklah mungkin ada kemenangan yang akan dapat dipertahankan untuk waktu lama. Kalaupun ada, kemenangan itu sendiri akan sia-sia karena ia justru akan terjebak pada chauvinisme-sosial, seperti Uni Sovyet tempo dulu. Jadi, sebuah organisasi pelopor tidaklah boleh terjebak ke dalam nasionalisme, ia harus berwatak internasionalis.
III. Bagaimana Kita Akan Mewujudkan Unifikasi
Tadi telah disebutkan tentang adanya Pertemuan Nasional Unifikasi, apa itu?
Ide tentang perlunya persatuan kiri ini telah muncul beberapa bulan yang lalu. Beberapa kelompok yang waktu itu sepakat untuk mengadakan peleburan kemudian memutuskan untuk mengambil inisiatif memulai proses ini secara resmi. Memang ada jalan lain, kita bisa mulai dengan mengumpulkan semua kelompok terlebih dahulu. Tapi, jika kita menempuh jalan ini, kemungkinan prosesnya akan berjalan dengan lambat karena tidak ada satu ikatan komitmen yang kongkrit di antara kelompok-kelompok yang sudah bersepakat tersebut. Kami akhirnya memutuskan untuk memulai proses penyatuan ini secara resmi. Selain keuntungan adanya komitmen tertulis, kami juga bisa membuat sebuah struktur yang akan memungkinkan adanya kesatuan tindakan dan keserasian gerak dalam mewujudkan persatuan ini.
Oleh karena itulah kami kemudian mengadakan sebuah Pertemuan Nasional Unifikasi pada tanggal 13-15 Mei 2004 di Surakarta. Pertemuan ini didahului oleh pembentukan Kolektif di berbagai kota. Ada sepuluh kota di mana proses ini telah mulai berjalan yakni Medan, Padang, Jabotabek, Bandung, Yogyakarta, Solo, Surabaya, Palu, Banjar, Makassar. Melalui Kolektif Kota inilah Pertemuan Nasional Unifikasi diadakan.
Dan persis pada pukul 22.45 WIB, tanggal 13 Mei 2004, seluruh peserta Pertemuan Nasional Unifikasi menyepakati secara aklamasi terbentuknya sebuah Komite Persiapan Unifikasi yang bekerja secara nasional. Komite Persiapan ini diberi nama Komite Persiapan Perhimpunan Rakyat Pekerja (KP-PRP).
Apa saja yang dihasilkan dalam Pertemuan Nasional Unifikasi itu?
Ada beberapa agenda yang dibicarakan pada pertemuan tersebut. Yang pertama, tentu saja, adalah Situasi Nasional. Analisa tentang situasi ekonomi-politik objektif telah diuraikan di bagian sebelumnya. Dan dari sana kami mengambil kesimpulan bahwa ruang politik yang liberal ini harus dmanfaatkan sebaik-baiknya untuk memajukan perjuangan anti-kapitalisme secara kelas. Berkenaan dengan situasi ekonomi-politik di mana imperialisme/neoliberalisme bergabung dengan bahaya militerisme, kita harus tetap menjaga elan revolusioner di dalam demokrasi liberal ini.
Pendeknya, kita harus menempuh taktik parlementer maupun ekstra-parlementer secara revolusioner. Kalaupun kelak kita memutuskan untuk ikut pemilu, kita akan mengikuti pemilu itu dengan memakai prinsip-prinsip revolusioner.
Pertemuan Nasional Unifikasi juga merumuskan program-program kerja, bentuk organisasi dan susunan kepengurusan bagi Komite Persiapan. Kesemuanya dapat dilihat dalam lampiran.
Jika diperhatikan, bentuk organisasi yang dipilih oleh Pertemuan Nasional sangatlah sederhana. Hanya ada komite tingkat nasional lalu langsung ke kota-kota. Ada dua pertimbangan mengapa demikianlah keputusannya. Yang pertama, Unifikasi ini baru memasuki tahap persiapan, belum memasuki tahapan pembentukan organisasi yang sesungguhnya. Yang kedua, massa rakyat (baik yang terorganisir maupun tidak) sesungguhnya terdapat di kota-kota. Jika kita menempatkan lagi komite tingkat propinsi, komite ini tidaklah efektif karena tidak langsung berhubungan dengan massa. Ini hanya akan menambah beban birokrasi saja.
Bukankah dengan adanya komite ini kelompok lain yang hendak bergabung akan terpaksa menerima sebuah produk jadi?
Bukan begitu, komite-komite ini adalah sebuah komite kerja yang tugas utamanya hanyalah mempersiapkan kongres. Tentu saja sebuah kongres tidak boleh hanya menjadi sebuah hasil kerja administratif semata melainkan juga hasil sebuah rangkaian kerja politik. Dengan adanya komite yang juga bekerja secara politik, berbagai kelompok akan memiliki pengalaman bekerja bersama, berdebat dan berdiskusi bersama tentang hal-hal yang langsung berkaitan dengan berbagai hal yang kelak akan ditangani oleh organ yang kelak dihasilkan oleh Kongres Unifikasi.
Di samping itu, komite-komite ini justru dibentuk untuk memudahkan pertukaran bahan-bahan pendidikan politik dan memberi kesempatan untuk mengadakan perdebatan yang objektif dan jujur antar berbagai kelompok yang selama ini menempuh jalan yang berbeda-beda dalam perlawanan terhadap kapitalisme. Setiap kelompok yang bergabung akan dharuskan untuk ikut dalam perdebatan dan aktif menjalankan keputusan-keputusan yang diambil setelah perdebatan-perdebatan itu mencapai kesimpulannya.
Bagaimana posisi Komite Pusat terhadap Komite-komite Kota?
Komite Pusat memimpin seluruh proses unifikasi, mengambil inisiatif dalam perdebatan-perdebatan, menyediakan alat-alat yang perlu agar perdebatan-perdebatan itu berlangsung dengan efektif dan memastikan bahwa kesimpulan-kesimpulan yang diambil dalam perdebatan-perdebatan itu dijalankan secara kesatuan tindakan. Jadi, disiplin yang dibangun oleh proses unifikasi ini bukanlah sebuah disiplin mati, disiplin birokratis, melainkan sebuah disiplin yang dibangun melalui pemahaman bersama terhadap segala hal yang akan dilakukan bersama. Diharapkan hal ini akan merupakan sebuah langkah maju untuk membangun satu tradisi baru dalam gerakan kiri di Indonesia.
Bagaimana dengan faksi, mengapa faksi diperbolehkan?
Adanya faksi dalam sebuah organisasi, biar bagaimanapun, adalah sesuatu yang tidak sehat. Ini menunjukkan bahwa proses diskusi dan perdebatan sebelum pengambilan keputusan tidak berlangsung tuntas. Namun, seringkali kita harus mengambil keputusan dengan cepat sekalipun belum seluruh data objekif terkumpul. Atau, mungkin juga data itu tidak dapat terkumpul karena berbagai kesulitan dalam pengmbilan data, misalnya jika data itu termasuk rahasia perusahaan atau rahasia negara. Dalam hal ini, kita harus tetap menjaga keterbukaan pikiran terhadap kemungkinan munculnya data baru yang akan menunjuk arah strategi yang berkebalikan atau berbeda dari yang diambil saat perdebatan berlangsung. Dalam kerangka itulah faksi diperbolehkan. Oleh karena itulah Konvensi Dasar yang disepakati dalam Pertemuan Nasional Unifikasi mengatur bahwa tiap posisi faksionalisasi harus disertai dengan sebuah paper yang menyatakan secara rinci landasan teoritik yang melatarbelakangi keharusan munculnya faksi. Kami ingin membangun sebuah tradisi baru perjuangan berdasarkan prinsip-prinsip ilmiah di mana subjektivitas diakui namun tidak lagi merupakan faktor penentu dalam pengambilan keputusan. Semua pengambilan keputusan haruslah rasional dan objektif, bukan berdasarkan suka-tidak suka.
Walau demikian, boikot tetap diharamkan. Keberadaan faksi tetap tidak boleh mengganggu kesatuan tindakan. Ini sesuai dengan prinsip demokrasi mayoritas, yakni demokrasi di mana hak minoritas untuk beroposisi dilindungi tapi ia tetap harus tunduk pada mayoritas selama ia belum dapat membuktikan kebenaran landasan oposisionalnya. Lebih jauh lagi, keberadaan faksi ditetapkan sebagai sebuah rahasia organisasi. Hal ini dimaksudkan agar massa secara luas tidak salah paham dan justru menganggap adanya faksi sebagai tanda perpecahan. Kita baru mulai belajar memecahkan masalah secara ilmiah dan rasional (yang sesungguhnya merupakan landasan pokok dari demokrasi), sementara tradisi yang selama ini berkembang di tengah gerakan adalah justru sebaliknya.
OK, bagaimana kalau masih ada pertanyaan yang belum terjawab di sini?
Silakan ditanyakan pada pemilik blog. Daftar kontak dapat dilihat dalam lampiran. Atau dapat ditanyakan langsung pada Komite pemilik blog. Alamat dan kontaknya juga dapat dilihat dalam lampiran.
***

0 komentar:

Posting Komentar