I. Landasan Unifikasi
Apa itu
Unifikasi?
Unifikasi adalah satu upaya untuk menyatukan kekuatan
yang selama ini dipandang tersebar-sebar, bekerja dengan tidak efektif karena
skala perlawanannya kecil, dll. Pendeknya, unifikasi adalah upaya untuk menempa
sebuah persatuan dari mereka yang memiliki tujuan serupa.
Kalau
Unifikasi Kiri?
Yang jelas, sasaran penyatuan ini adalah mereka yang
ada di sayap kiri dalam spektrum politik. Dan yang dimaksud sayap kiri itu
tentunya adalah mereka yang menentang kapitalisme, yang memandang bahwa
kapitalisme itu keliru dan harus digantikan oleh sebuah sistem yang baru. Tentu
saja ada yang mengartikan "kiri" hanya sebatas "anti status quo" atau anti rejim yang
sedang berkuasa. Tapi itu tidak cukup untuk keperluan kita. Kita harus dengan
tegas mengatakan bahwa "kiri" itu berarti anti-kapitalisme.
Apa kita perlu
Unifikasi Kiri sekarang?
Perlu atau tidak perlu tentu ditentukan oleh
perkembangan situasi objektif. Dan kalau kita mau jujur memandang situasi
sosial yang berkembang belakangan ini (yakni pada semester pertama 2004), kita
akan melihat bahwa ekonomi, politik dan budaya telah dikuasai oleh kaum kanan,
mereka yang pro dengan kapitalisme.
Petunjuk terpenting tentang penguasaan dominan
(hegemoni) sayap kanan di bidang politik adalah berjalan mulusnya pemilu
borjuis, tidak adanya alternatif terhadap kepemimpinan borjuis, lemahnya posisi
tawar organisasi-organisasi rakyat terhadap kebijakan pemerintah borjuis,
menurun dengan drastisnya jumlah terbitan dan seruan anti-kapitalis secara
nasional, semakin turunnya jumlah massa yang dapat dimobilisasi untuk aksi-aksi
politik, dan penguatan kembali peran militer. Ini terjadi di tengah semakin
bebasnya bacaan kiri beredar. Hal ini menunjukkan pada kita betapa dominasi (hegemoni)
politik sayap kanan justru menguat pasca penggulingan Soeharto.
Di lain pihak, kini terdapat sebuah ruang politik
demokrasi liberal. Tentu saja kita tidak dapat menyamakan "demokrasi
liberal" di sini dengan yang ada, misalnya, di Eropa Barat atau Amerika
Serikat. Demokrasi liberal di sini terus dibayangi oleh bahaya militerisme.
Terutama karena borjuasi sipil Indonesia tidak terbentuk sebagai borjuasi yang
tangguh, yang sanggup membangun sebuah struktur ekonomi-politik kapitalis yang
tangguh. Di samping itu, ketergantungan borjuasi Indonesia pada modal asing
menyebabkan mereka sangat tidak mampu membuat keputusan ekonomi-politik yang
populis. Karena itu, mereka sangat membutuhkan militer sebagai jaminan
satu-satunya bagi keberlangsungan kekuasaan mereka secara kelas.
Di bidang ekonomi, petunjuk dapat kita lihat dalam
relatif mulusnya pasar bebas masuk ke Indonesia. Privatisasi berjalan terus.
Pencabutan subsidi juga terus terjadi sekalipun sekarang dibuat bertahap dan
kadang tanpa pemberitahuan pada publik. Perlawanan yang terjadi hanya sporadis,
kadang muncul kadang tenggelam, dan tidak pernah tertuju secara serius pada
sumber-sumber utama privatisasi, yakni oligarki kapital. Kami mengatakan bahwa
"tidak serius" karena sebuah perlawanan yang serius pasti sebuah
perlawanan yang terstruktur dan terencana, jadi pasti melibatkan satu upaya
untuk memperbesar perlawanan itu secara terus-menerus.
Dalam soal budaya, kita melihat bagaimana bius mistik
mulai didorong maju oleh agen-agen borjuasi, terutama media massa. Dengan
berkedok "pasar", tayangan-tayangan mistik bergentayangan baik di
layar kaca maupun dalam terbitan-terbitan cetak. Berbagai macam isu mistik
disebarkan di tengah rakyat untuk membuat keresahan dan membuat rakyat lupa
akan berbagai keputusan rejim borjuis yang menyengsarakan rakyat, seperti isu
"kolor ijo". Tayangan-tayangan kuis dan kontes-kontes idola secara
efektif juga digunakan untuk membelokkan isu-isu yang kritis dari benak rakyat
karena rakyat terbujuk oleh harapan semu untuk bisa keluar dari krisis
kemiskinan mereka melalui acara-acara semacam ini.
Di tengah kondisi objektif semacam ini, hampir tidak
ada alternatif yang terbuka bagi partisipasi massa rakyat. Ada partai yang
mengaku mewakili buruh, seperti PBSD. Tapi, kita tidak lihat upaya PBSD untuk
menjalin sebuah perlawanan terorganisir dan berbasiskan massa terhadap
peraturan perundang-undangan yang menindas buruh seperti UU PPHI dan UUTK.
Mengapa harus berbasis massa? Sederhana: pernahkah di dunia ini, di mana saja,
ada perjuangan buruh dalam isu-isu kritis yang berhasil tanpa menggunakan
pemogokan? Ada lagi formasi-formasi lain seperti Perhimpunan Indonesia, yang
lebih-lebih lagi karena kebanyakan anggotanya adalah intelektual yang tidak
bersentuhan langsung dengan kondisi keseharian rakyat pekerja di negeri ini.
Kita dapat bertanya: apakah solusi yang mereka hasilkan akan sesuai dengan
kebutuhan objektif rakyat pekerja? Yang jelas, jalan yang mereka tempuh
tidaklah sesuai dengan prinsip bahwa pembebasan rakyat pekerja hanya akan
tercapai jika merupakan hasil jerih-payah rakyat pekerja itu sendiri.
Untuk keperluan inilah maka kita membutuhkan sebuah
formasi baru. Formasi yang anti-kapitalisme, yang menyatukan kekuatan-kekuatan
rakyat pekerja yang selama ini terpencar-pencar dan tidak efektif kerjanya.
Mengapa harus
anti-kapitalisme?
Karena semua alternatif terhadap rejim yang berkuasa di
Indonesia telah pernah diajukan, dan tidak pernah menyentuh permasalahan
mendasar yang dihadapi oleh rakyat Indonesia. Orang sudah mengajukan pemberantasan
korupsi, atau liberalisasi perdagangan, atau politik multipatrai, tapi tidak
satupun yang mampu membereskan persoalan. Justru kesejahteraan rakyat semakin
merosot, kehidupan semakin sulit. Sekalipun indikator-indikator ekonomi
menunjukkan perbaikan, kondisi yang kita temui di tengah rakyat menunjukkan
sebaliknya.
Kondisi ini membingungkan banyak gerakan rakyat,
termasuk gerakan mahasiswa yang biasanya paling aktif dan kaya strategi-taktik.
Terlihat bahwa gerakan massa mengalami penurunan tajam pasca penggulingan
Soeharto tahun 1998. Slogan-slogan yang dipakai oleh gerakan massa, termasuk
slogan reformasi, dicuri oleh para penguasa dan digunakan untuk kepentingan
elit penguasa. Perpecahan terjadi di mana-mana.
Hanya sosialisme yang akan memberi satu alternatif yang
akan membawa sebuah perubahan mendasar terhadap kelemahan-kelemahan dan krisis
yang diakibatkan oleh kapitalisme. Krisis yang kini dihadapi oleh gerakan massa
sebagian juga disebabkan oleh tidak disentuhnya alternatif yang paling tajam
terhadap sistem ekonomi-politik yang kini berlaku di negeri ini.
Apakah semua
orang yang anti-kapitalis dapat bergabung dalam Unifikasi Kiri ini?
Tidak semua. Pertemuan Nasional Unifikasi telah
menghasilkan syarat dasar bagi mereka yang hendak bergabung. Syarat-syarat itu
adalah (1) menjadikan sosialisme sebagai tujuan perjuangan; dan (2) menjadikan
perjuangan massa sebagai metode pokok perjuangan. Sosialisme yang diacu pun
bukan sembarang sosialisme, melainkan sosialisme yang ilmiah, yang melandaskan
penyusunan teorinya dari kerja-kerja dan praktek kongkrit di lapangan.
Mengapa tidak
semua orang boleh bergabung, ‘kan namanya "Unifikasi"?
Tentu saja kami menginginkan sebanyak mungkin orang
bergabung. Tapi kami tentu tidak menginginkan penggabungan tanpa prinsip
(kombinasionisme). Pertama dan terutama, kita harus menegaskan prinsip-prinsip
perjuangan kita. Kita hanya akan bergabung dengan mereka yang sepakat dengan
prinsip-prinsip tersebut. Jika tidak demikian, kita akan menjadi satu wadah
yang tidak jelas landasannya. Ketidakjelasan ini niscaya akan menghasilkan
perjuangan internal yang terlalu tajam. Enerji organisasi akan dihabiskan
dengan bertarung di dalam tanpa dapat menghasilkan perbesaran perlawanan
terhadap kapitalisme. Maka dari itu kita perlu menarik satu garis demarkasi,
satu tapal batas. Jika orang sepakat untuk masuk ke dalam batasan yang telah
kita gariskan, baru kita akan sama-sama bicara, berdebat dan berdiskusi. Jika
tidak, silakan berada di luar lingkaran. Bahkan, kalaupun kita memakai pola
berpikir organisasional yang umum sekalipun, pastilah tetap ada syarat jika
seseorang ingin menjadi anggota. Sekalipun organisasi itu adalah sebuah
koperasi, karang taruna atau perkumpulan pengendara Harley, semua pasti
memiliki syarat-syarat keanggotaan. Karena kami ingin membangun sebuah
unifikasi untuk perlawanan terhadap kapitalisme, tentunya syarat itu terletak
pada persoalan prinsipil.
II. Landasan Perjuangan Unifikasi
Secara
kongkrit, apa makna syarat-syarat unifikasi itu?
Sesungguhnya, syarat-syarat itu dibuat untuk dapat
menghadirkan sebuah perjuangan kelas dalam panggung politik Indonesia. Dominasi
politik sayap kanan berarti kelas pemilik modal praktis tidak mendapatkan
hambatan dalam memaksakan kepentingan-kepentingan ekonomi-politik mereka agar
tercermin dalam keputusan-keputusan dari lembaga-lembaga negara. Sebuah
perjuangan kelas mengupayakan agar kelas-kelas yang kepentingannya berlawanan
dengan kepentingan para pemilik modal masuk ke dalam pertarungan untuk langsung
berebut menjadi kekuatan yang paling menentukan dalam pengambilan keputusan
semacam itu. Adanya sebuah perjuangan kelas yang kokoh setidaknya akan
merupakan satu penghalang bagi kelas pemilik modal untuk merajalela dalam
memaksakan agar segala keputusan ekonomi-politik mencerminkan kepentingannya.
Ini akan memaksa mereka untuk berhitung seribu kali sebelum mencoba cara-cara
penghisapan baru. Namun, jika perjuangan kelas itu berhasil, justru rakyat
pekerjalah yang akan dapat memaksa negara untuk mengambil keputusan-keputusan
yang akan mencerminkan kepentingan rakyat pekerja itu sendiri. Singkatnya,
tujuan kita adalah untuk mengangkat rakyat pekerja itu ke tampuk kekuasaan,
melatih dan memperlengkapi mereka dengan kemampuan untuk melaksanakan sendiri
penyelenggaraan negara jika kekuasaan itu ada di tangan mereka.
Banyak orang
atau kelompok lain juga mengklaim melancarkan perjuangan kelas, apa yang
membedakan kita dengan kelompok lain?
Hanya sebuah praktek yang akan membedakan kita dari
lainnya. Namun, panduan praktek yang telah ditetapkan oleh Pertemuan Nasional
Unifikasi sebagai rujukan bagi tiap gerak langkah unifikasi ini adalah:
1. Sebuah politik kelas akan
selalu mendekatkan kelas pekerja pada kekuasaan ekonomi, politik dan teori
(Ideologi dan kesadaran).
2. Perjuangan untuk kekuasaan
ekonomi, politik dan ideologi itu dilakukan melalui organ partai proletariat,
namun jika tiba saatnya, hanya sebuah Dewan Rakyat sajalah yang akan mampu
menjadi alat kelas pekerja untuk memegang kekuasaan riil.
3. Sebuah partai akan dapat
disebut partai proletariat jika di dalamnya proletariat juga berdominasi,
kelas-kelas dan sektor-sektor lain di dalam partai tersebut berada di bawah
kepemimpinan ideologi proletariat dan mengabdikan perjuangan sektoralnya untuk
kepentingan kemenangan proletariat.
4. Salah satu syarat untuk
terjadinya dominasi proletariat ini adalah pada "komposisi kelas" di
dalam organisasi, sebuah partai proletar harus dapat membuat komposisi kelas di
dalam dirinya didominasi oleh proletariat.
5. Karena mayoritas proletariat
dan kelas pekerja lain saat ini berada di bawah cengkeraman hegemoni ideologi
borjuasi, maka perlu ada sebuah organisasi pelopor, yakni organisasi yang
memannggul tugas untuk memajukan kesadaran kelas pekerja menuju sebuah
kesadaran kelas pekrja baru akan bebas menentukan nasibnya sendiri jika mereka
memegang kekuasan ekonomi dan politik.
6. Untuk dapat menjadi pelopor,
sebuah organisasi harus memiliki sentralisme di dalam dirinya, sentralisme yang
akan memungkinkannya untuk bergerak sebagai satu tubuh dan satu jiwa. Namun,
sentralisme ini tidak dapat didasarkan semata-mata pada wewenang atau mandat
kepada Pusat, melainkan terutama oleh pemahaman bersama atas langkah-langkah
yang harus diambil untuk menanggapi situasi tertentu.
7. Keyakinan bahwa perjuangan
kelas proletariat hanya akan menjadi kekuatan utuh jika disandarkan pada
kekuatan Internasionalisme.
Coba jelaskan
point pertama!
Sebuah perjuangan kelas bertujuan mengangkat kelas
tertentu ke tampuk kekuasaan. Dalam arti, bahwa kekuasaan negara secara umum
akan mencerminkan kepentingan dari kelas tertentu. Perjuangan kelas terus
terjadi sekalipun kita tidak menyadarinya karena kelas pemilik modal sebenarnya
terus berusaha mempertahankan keadaan di mana negara berpihak pada pemilik
modal. Seperti yang kita tahu, semua lembaga kekuasaan kini dikuasai oleh para
pemilik modal. Jika kita lihat susunan anggota parlemen, para menteri, bahkan
juga para calon presiden, kita akan mendapati bahwa sebagian besar (bahkan
hampir 100%) adalah pengusaha. Jika para pengusaha bertemu untuk membicarakan penyusunan
UU, sudah hampir dapat dipastikan bahwa isi UU tersebut tidak akan berpihak
pada rakyat pekerja. Jika pemerintah dikuasai oleh pengusaha, kita tidak dapat
menyalahkan mereka jika keputusan yang diambilnya juga menguntungkan pengusaha.
Sudah menjadi kewajiban mereka untuk membuat keputusan semacam itu.
Kelas pengusaha ini berusaha mempertahankan
kekuasaannya dengan berbagai cara. Terutama sekali mereka berusaha membuat
rakyat pekerja tetap bodoh. Mereka membuat sebuah sistem pendidikan yang mahal sehingga
anak-anak rakyat pekerja tidak sanggup untuk menanggung biaya pendidikan. Oleh
karena itu sebagian besar anak rakyat pekerja kemudian juga terpaksa menjadi
pekerja juga. Mereka juga mengisi pendidikan itu dengan dasar berpikir yang
tidak ilmiah dan menjejali anak dengan pola pikir kapitalis. Di tengah
masyarakat, kita terus dicecar dengan pola hidup boros melalui iklan. Mereka
terus memelihara budaya feudalistik di mana para pemimpin diperbolehkan
memiliki kuasa mutlak atas kawulanya. Tapi, di atas segalanya, mereka
mengandalkan perangkat hukum dan perundang-undangan untuk mencegah munculnya
perlawanan terorganisir terhadap sistem kekuasaan mereka.
Dengan menandaskan perjuangan kelas, kita berusaha
mengangkat perjuangan kelas agar rakyat pekerja menyadari bahwa merekalah yang
seharusnya mengisi parlemen-parlemen, merekalah yang seharusnya mengisi
jabatan-jabatan penting negara (bahkan juga presiden dan menteri-menteri),
merekalah yang harus mengambil keputusan dalam hal-hal yang menyangkut hukum dan
peraturan. Kemudian kita harus melatih rakyat pekerja itu supaya sanggup
melakukan hal-hal tersebut. Dan, akhirnya, kita harus pula membajakan rakyat
pekerja itu agar sanggup mengambil-alih kekuasaan tersebut dengan cara apapun
yang paling dimungkinkan.
Hanya jika rakyat pekerja duduk di tampuk kekuasaan
negara, segala keputusan yang diambil oleh negara akan memihak pada nasib
rakyat pekerja.
Mengapa
pengambilalihan kekuasaan itu harus melalui sovyet?
Bukankah itu artinya harus lewat revolusi?
Kita dapat mengambil alih kekuasaan melalui jalan apa
saja, termasuk jalan parlementer jika dimungkinkan. Sedapat mungkin kita harus
mengusahakan jalan damai dalam pengambilalihan kekuasaan ini. Namun sejarah
telah mengajar pada kita bahwa kelas pemilik modal tidaklah segan untuk
menggunakan kekerasan dalam mempertahankan hak-hak istimewanya. Kita hanya bisa
menggunakan jalan damai 100% jika kita bersedia menyerah pada tuntutan pemilik
modal agar tidak mengganggu-gugat penghisapan yang mereka lakukan. Jika kita
bersikeras untuk membebaskan seluruh rakyat pekerja dari penghisapan dan
penindasan, jalan revolusioner mau tidak mau akan tetap kita tempuh.
Persaoalannya cuma lebih cepat atau lebih lambat. Maka, jauh lebih baik kalau
dari awal kita sudah menegaskan bahwa kita tidak akan meninggalkan jalan
revolusioner, bahkan kalaupun kita menempuh metode parlementer dalam perjuangan
kita. Ini untuk terus mengingatkan diri kita sendiri dan seluruh rakyat pekerja
bahwa cepat atau lambat kelas pemilik modal pasti akan mencoba menghancurkan
kekuatan terorganisir rakyat pekerja melalui kekerasan. Dan jika saat itu tiba,
kita hanya memiliki dua pilihan: mengkhianati rakyat pekerja dan tunduk pada
ideologi borjuasi; atau revolusi.
Mengapa
proletariat yang dipilih sebagai ujung tombak perjuangan?
Jawaban sederhana atas pertanyaan itu adalah kenyataan
bahwa proletariat adalah anak kandung kapitalisme. Kapitalisme tidak dapat
hadir tanpa lebih dahulu merampas alat produksi dari para pekerja bebas
(seperti tukang atau tani) dan memaksa mereka untuk menjual tenaga sebagai
proletariat. Kelas-kelas lain dalam masyarakat juga berkonflik dengan
kapitalisme, tapi itu karena kapitalisme sedang berupaya untuk memaksa
kelas-kelas lain itu untuk menyerahkan alat produksi mereka dan menjadi proletariat.
Kasus penggusuran tanah, misalnya, memaksa petani kehilangan alat produksi
mereka yang paling utama, yakni tanah. Karena mereka kehilangan tanah, mereka
akan terpaksa memburuh di koa-kota besar. Oleh karena mreka berkonflik juga
dengan kapitalisme, kita harus merangkul kelas-kelas tertindas di luar
proletariat ini untuk bersama-sama melakukan perlawanan. Tapi, untuk dpat
menuntaskan perlawanan terhadap kapitalisme, kelas-kelas lain ini harus ditempa
agar memahami bahwa masa depan semua orang adalah menjadi proletariat. Hal ini
akan menjadi sangat penting justru pasca kemenangan perjuangan kelas, saat
sosialisme boleh mulai diwujudkan. Sosialisme hanya dapat dibangun di atas
sebuah masyarakat industrial modern, dan dalam sebuah masyarakat semacam itu, proletariatlah
yang berdominasi dalam seluruh struktur masyarakatnya. Jika kelas-kelas lain
ini tidak menyadari bahwa proletariatlah yang harus memimpin perjuangan, kelak
pasti akan terjadi bentrokan antara mereka dengan proletariat, justru setelah
perjuangan kelas melawan kapitalisme dimenangkan.
Mengapa
keanggotaan partai harus didominasi oleh proletariat?
Prinsipnya sederhana: kami meyakini bahwa pembebasan
proletariat hanya dimungkinkan melalui perjuangan proletariat itu sendiri.
Tidak cukup jika ada orang di luar kelas proletariat yang "berniat
baik" untuk memperjuangan nasib proletariat tapi tidak mau atau hanya
sedikit melibatkan proletariat dalam perjuangan mereka. Sudah berkali-kali
terbukti dalam sejarah bahwa para "pembebas" proletariat ini pada akhrnya
justu mengkhianati perjuangan proletariat ketika saat-saat yang menentukan
tiba, yakni saat di mana benturan kepentingan antara proletariat dan pemilik
modal sudah semakin tak terhindarkan. Hanya mereka yang benar-benar
berkepentingan sajalah yang akan sanggup bersetia dengan perjuangan sampai ke
titik yang penghabisan. Hal ini sesungguhnya sudah merupakan kebijaksanaan
orang-orang tua dari tempo dulu, sebuah ujar-ujar Konfusius, misalnya,
menyatakan, "Dripada memberi ikan, lebih baik memberi pancing. Darpada
memberi pancing, lebih baik mengajar orang membuat pancing." Kita akan
mengajar dan melatih proletariat agar dapat mempertahankan kepentingannya
sendri berhadapan dengan penindasan dan penghisapan borjuasi, sampai akhirnya
dia dapat memenangkan pertarungan itu sepenuhnya. Tapi, bagaimna kita dapat
mengajar dan melatih proletariat jika organ atau partai kita tidak diisi dengan
sebanyak-banyaknya proletariat?
Kalau begitu,
apa gunanya pelopor?
Perjuangan kelas proletar adalah sebuah perjuangan yang
sulit. Salah satu sebabnya adalah karena kita harus melakukan perjuangan itu di
bawah kapialisme, tapi justru untuk membawa diri kita keluar dari kapitalisme
itu. Ketika kita berjuang di dalam kungkingan kapitalisme, kita tidak hanya
akan berhadapan dengan represi telanjang, namun juga dengan badai propaganda
ideologi kapialisme yang merasuki kesadaran kita dari segala penjuru. Film,
hiburan, iklan, sampai lirik lagu bahkan juga berita, hampir 100% mengandung
ide-ide yang membenarkan keberadaan kapitalisme sebagai sebuah sistem.
Lagipula, secara umum manusia niscaya bersifat konservatif, enggan untuk
berubah. Hampir semua orang memimpikan kemapanan (= status quo) dalam hidup mereka. Dalam keadaan semacam ini,
mayoritas kelas pekerja sebenarnya menyadari dari pengalaman kongkrit bahwa
kepentingan mereka berbeda dari kepentingan pemilik modal. Tapi, mereka tidak
dapat menemukan penjelasan yang masuk akal karena semua propaganda dn
pendidikan yang mereka terima membenarkan apa yang dilakukan oleh para pemilik
modal. Oleh karena konflik batin itulah kemudian banyak anggota kelas proletar
kemudian mengambil sikap tidak peduli. Bagaimana pun juga, ada
individu-individu, betapapun kecil jumlahnya, yang mampu keluar dari perangkap
ini dan sanggup melihat dengan jelas apa yang terjadi. Oleh karena itulah
kemudian orang-orang ini harus memanggul beban untuk membuka mata
anggota-anggota kelas proletar yang lain. Mereka harus berjuang, bukan hanya
mengatasi penindasan kapitalisme, tapi juga ketidakacuhan dari kelas proletar.
Inilah tugas yang mereka panggul sebagai pelopor.
Tapi, sudah
banyak organisasi yang mengaku pelopor? Seperti apa sih sebenrnya organisasi
pelopor itu?
Bagi kami, tandanya sederhana saja: sebuah organisasi
pelopor akan terus mendekatkan rakyat pekerja pada kesadaran bahwa mereka
sendirilah yang harus memegang kekuasaan,. Dan bukan hanya itu, sebuah
organisasi pelopor akan terus mengambangkan jumlah rakyat pekerja yang
menyadari ini, dan ini akan tercermin dalam komposisi keanggotaannya. Jika
sebuah organisasi pelopor perjuangan kelas proletariat masih didominasi oleh
borjuis kecil, misalnya, setelah lima tahun bekerja artinya mereka sudah gagal
menjadi pelopor. Mereka tidak sanggup menarik lebih banyak anggota kelas
proletariat ke dalam organisaisi mereka, itu artinya apa yang mereka serukan
tidaklah dekat dengan hati dan pikiran proletariat. Namun sebaliknya, jika
sebuah organisasi dapat meraup lebih banyak proleariat sekalipun, itu belum
berarti mereka lantas menjadi pelopor. Kita harus lihat peningkatan kualitas
anggota-anggotanya, apakah mereka sudah dapat bicara tentang alternatif
terhadap kapitalisme atau belum. Jika kerangka perjuangan mereka masih berada
di dalam batas-batas kapitalisme, itu artinya organisasi masih gagal menanamkan
kesadaran kelas kepada kelas pekerja.
Lalu bagaimana
dengan internasionalisme?
Internasionalisme gerakan kelas proletariat adalah
satu-satunya cara yang tepat untuk melawan strategi pemilik modal yang juga
meluaskan lapangan permainannya ke tingkat internasional melalui neoliberalisme
dan globalisasi. Mereka menjalin kerjasama di tingkat internasional, baik dalam
tingkatan perusahaan (melalui merger, sindikasi,
atau perjanjian dagang) maupun dalam tingkat kenegaraan (melalui blok-blok
perdagangan, IMF, WTO, Bank Dunia). Dengan semakin globalnya perekonomian,
semakin nyata pula bahwa modal tidak mengenal kebangsaan. Dan ketika modal
sudah menjadi global, semakin tidak mungkin perlawanan hanya dilakukan di satu
negeri. Sebuah kesatuan tindakan dan keserasian gerak dari organisasi-organisasi
kelas proletar sedunia adalah syarat mutlak bagi kemenangannya. Tentu saja kita
menyadari bahwa perjuangan yang sesungguhnya tetap berlangsung di tingkat
nasional, dan bahwa perjuangan ini tidak akan dapat dimenangkan secara serempak
di semua negeri. Namun, tanpa internasionalisme yang kokoh, tidaklah mungkin
ada kemenangan yang akan dapat dipertahankan untuk waktu lama. Kalaupun ada,
kemenangan itu sendiri akan sia-sia karena ia justru akan terjebak pada
chauvinisme-sosial, seperti Uni Sovyet tempo dulu. Jadi, sebuah organisasi
pelopor tidaklah boleh terjebak ke dalam nasionalisme, ia harus berwatak
internasionalis.
III. Bagaimana Kita Akan Mewujudkan
Unifikasi
Tadi telah
disebutkan tentang adanya Pertemuan Nasional Unifikasi, apa itu?
Ide tentang perlunya persatuan kiri ini telah muncul
beberapa bulan yang lalu. Beberapa kelompok yang waktu itu sepakat untuk
mengadakan peleburan kemudian memutuskan untuk mengambil inisiatif memulai
proses ini secara resmi. Memang ada jalan lain, kita bisa mulai dengan
mengumpulkan semua kelompok terlebih dahulu. Tapi, jika kita menempuh jalan
ini, kemungkinan prosesnya akan berjalan dengan lambat karena tidak ada satu
ikatan komitmen yang kongkrit di antara kelompok-kelompok yang sudah bersepakat
tersebut. Kami akhirnya memutuskan untuk memulai proses penyatuan ini secara
resmi. Selain keuntungan adanya komitmen tertulis, kami juga bisa membuat
sebuah struktur yang akan memungkinkan adanya kesatuan tindakan dan keserasian
gerak dalam mewujudkan persatuan ini.
Oleh karena itulah kami kemudian mengadakan sebuah
Pertemuan Nasional Unifikasi pada tanggal 13-15 Mei 2004 di Surakarta.
Pertemuan ini didahului oleh pembentukan Kolektif di berbagai kota. Ada sepuluh
kota di mana proses ini telah mulai berjalan yakni Medan, Padang, Jabotabek,
Bandung, Yogyakarta, Solo, Surabaya, Palu, Banjar, Makassar. Melalui Kolektif
Kota inilah Pertemuan Nasional Unifikasi diadakan.
Dan persis pada pukul 22.45 WIB, tanggal 13 Mei 2004,
seluruh peserta Pertemuan Nasional Unifikasi menyepakati secara aklamasi
terbentuknya sebuah Komite Persiapan Unifikasi yang bekerja secara nasional.
Komite Persiapan ini diberi nama Komite Persiapan Perhimpunan Rakyat Pekerja
(KP-PRP).
Apa saja yang
dihasilkan dalam Pertemuan Nasional Unifikasi itu?
Ada beberapa agenda yang dibicarakan pada pertemuan
tersebut. Yang pertama, tentu saja, adalah Situasi Nasional. Analisa tentang
situasi ekonomi-politik objektif telah diuraikan di bagian sebelumnya. Dan dari
sana kami mengambil kesimpulan bahwa ruang politik yang liberal ini harus
dmanfaatkan sebaik-baiknya untuk memajukan perjuangan anti-kapitalisme secara
kelas. Berkenaan dengan situasi ekonomi-politik di mana
imperialisme/neoliberalisme bergabung dengan bahaya militerisme, kita harus
tetap menjaga elan revolusioner di dalam demokrasi liberal ini.
Pendeknya, kita harus menempuh taktik parlementer
maupun ekstra-parlementer secara revolusioner. Kalaupun kelak kita memutuskan
untuk ikut pemilu, kita akan mengikuti pemilu itu dengan memakai
prinsip-prinsip revolusioner.
Pertemuan Nasional Unifikasi juga merumuskan
program-program kerja, bentuk organisasi dan susunan kepengurusan bagi Komite
Persiapan. Kesemuanya dapat dilihat dalam lampiran.
Jika diperhatikan, bentuk organisasi yang dipilih oleh
Pertemuan Nasional sangatlah sederhana. Hanya ada komite tingkat nasional lalu
langsung ke kota-kota. Ada dua pertimbangan mengapa demikianlah keputusannya.
Yang pertama, Unifikasi ini baru memasuki tahap persiapan, belum memasuki
tahapan pembentukan organisasi yang sesungguhnya. Yang kedua, massa rakyat
(baik yang terorganisir maupun tidak) sesungguhnya terdapat di kota-kota. Jika
kita menempatkan lagi komite tingkat propinsi, komite ini tidaklah efektif
karena tidak langsung berhubungan dengan massa. Ini hanya akan menambah beban
birokrasi saja.
Bukankah
dengan adanya komite ini kelompok lain yang hendak bergabung akan terpaksa
menerima sebuah produk jadi?
Bukan begitu, komite-komite ini adalah sebuah komite
kerja yang tugas utamanya hanyalah mempersiapkan kongres. Tentu saja sebuah
kongres tidak boleh hanya menjadi sebuah hasil kerja administratif semata
melainkan juga hasil sebuah rangkaian kerja politik. Dengan adanya komite yang
juga bekerja secara politik, berbagai kelompok akan memiliki pengalaman bekerja
bersama, berdebat dan berdiskusi bersama tentang hal-hal yang langsung
berkaitan dengan berbagai hal yang kelak akan ditangani oleh organ yang kelak
dihasilkan oleh Kongres Unifikasi.
Di samping itu, komite-komite ini justru dibentuk untuk
memudahkan pertukaran bahan-bahan pendidikan politik dan memberi kesempatan
untuk mengadakan perdebatan yang objektif dan jujur antar berbagai kelompok
yang selama ini menempuh jalan yang berbeda-beda dalam perlawanan terhadap
kapitalisme. Setiap kelompok yang bergabung akan dharuskan untuk ikut dalam
perdebatan dan aktif menjalankan keputusan-keputusan yang diambil setelah
perdebatan-perdebatan itu mencapai kesimpulannya.
Bagaimana
posisi Komite Pusat terhadap Komite-komite Kota?
Komite Pusat memimpin seluruh proses unifikasi,
mengambil inisiatif dalam perdebatan-perdebatan, menyediakan alat-alat yang
perlu agar perdebatan-perdebatan itu berlangsung dengan efektif dan memastikan
bahwa kesimpulan-kesimpulan yang diambil dalam perdebatan-perdebatan itu
dijalankan secara kesatuan tindakan. Jadi, disiplin yang dibangun oleh proses
unifikasi ini bukanlah sebuah disiplin mati, disiplin birokratis, melainkan
sebuah disiplin yang dibangun melalui pemahaman bersama terhadap segala hal
yang akan dilakukan bersama. Diharapkan hal ini akan merupakan sebuah langkah
maju untuk membangun satu tradisi baru dalam gerakan kiri di Indonesia.
Bagaimana
dengan faksi, mengapa faksi diperbolehkan?
Adanya faksi dalam sebuah organisasi, biar
bagaimanapun, adalah sesuatu yang tidak sehat. Ini menunjukkan bahwa proses
diskusi dan perdebatan sebelum pengambilan keputusan tidak berlangsung tuntas.
Namun, seringkali kita harus mengambil keputusan dengan cepat sekalipun belum
seluruh data objekif terkumpul. Atau, mungkin juga data itu tidak dapat
terkumpul karena berbagai kesulitan dalam pengmbilan data, misalnya jika data
itu termasuk rahasia perusahaan atau rahasia negara. Dalam hal ini, kita harus
tetap menjaga keterbukaan pikiran terhadap kemungkinan munculnya data baru yang
akan menunjuk arah strategi yang berkebalikan atau berbeda dari yang diambil
saat perdebatan berlangsung. Dalam kerangka itulah faksi diperbolehkan. Oleh
karena itulah Konvensi Dasar yang disepakati dalam Pertemuan Nasional Unifikasi
mengatur bahwa tiap posisi faksionalisasi harus disertai dengan sebuah paper
yang menyatakan secara rinci landasan teoritik yang melatarbelakangi keharusan
munculnya faksi. Kami ingin membangun sebuah tradisi baru perjuangan
berdasarkan prinsip-prinsip ilmiah di mana subjektivitas diakui namun tidak
lagi merupakan faktor penentu dalam pengambilan keputusan. Semua pengambilan
keputusan haruslah rasional dan objektif, bukan berdasarkan suka-tidak suka.
Walau demikian, boikot tetap diharamkan. Keberadaan
faksi tetap tidak boleh mengganggu kesatuan tindakan. Ini sesuai dengan prinsip
demokrasi mayoritas, yakni demokrasi di mana hak minoritas untuk beroposisi
dilindungi tapi ia tetap harus tunduk pada mayoritas selama ia belum dapat
membuktikan kebenaran landasan oposisionalnya. Lebih jauh lagi, keberadaan
faksi ditetapkan sebagai sebuah rahasia organisasi. Hal ini dimaksudkan agar
massa secara luas tidak salah paham dan justru menganggap adanya faksi sebagai
tanda perpecahan. Kita baru mulai belajar memecahkan masalah secara ilmiah dan
rasional (yang sesungguhnya merupakan landasan pokok dari demokrasi), sementara
tradisi yang selama ini berkembang di tengah gerakan adalah justru sebaliknya.
OK, bagaimana
kalau masih ada pertanyaan yang belum terjawab di sini?
Silakan ditanyakan pada pemilik blog. Daftar kontak
dapat dilihat dalam lampiran. Atau dapat ditanyakan langsung pada Komite pemilik blog. Alamat dan kontaknya juga dapat dilihat dalam lampiran.
***
0 komentar:
Posting Komentar